• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Mari belajar Drama Lewat Blog
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

SERPIHAN HATI DI UJUNG USIA

Jumat, 12 Februari 2010

SERPIHAN HATI DI UJUNG USIA

Oleh: Esti Suryani

Seiring matahari yang bergulir hingga petang . Pancaran sinarnya mulai memerah di ufuk barat. Air laut yang mulai surut, bersinar mengkilat diterpa sentuhan sinar surya, burung camar berbaris rapi terbang menghujung, kemudian berbalik bertahan di atas hempasan gelombang laut yang berguling-guling, akhirnya menepi di pasir-pasir pantai. Riaknya menyentuh kaki kecil yang tersandar di pinggir pantai.Seorang perempuan dewasa dengan sorot matanya yang kosong mengarah pada titik-titik sinar matahari yang mulai meredup dan semakin hilang tenggelam di tengah laut lepas.



Weny tersadar ketika kura-kura kecil merangkak pelan di jari-jari kakinya, kemudian merangkak turun terguling-guling di pasir pantai. Dengan susah payah kembali berdiri menapakkan telapak kaki kecilnya di atas pasir putih. Hangat air laut menyentuh, menyambut, dan membawanya pada anggan-anggannya ke tengah laut lepas. Ia bangun dari duduknya, berdiri menjinjing sepasang sepatu sandalnya di kedua tangannya. Kakinya melangkah selangkah demi selangkah menjauh dari suara deburan ombak laut sore hari. Saat kakinya mulai melangkah adalah langkah harapan meninggalkan masa lalunya. Helaan panjang nafasnya adalah nafas sesak terakhir yang dirasakan. Dingin yang pernah menusuk tulang sumsumnya adalah kebekuan hati yang pernah mengakar dalam kesepian.

Hati Weny merasakan sepi sekali saat ini, tak ada satupun rongga hatinya yang terisi. Raya anak satu-satunyalah yang selalu dapat membuat semangat hidupnya untuk tetap berjalan di atas tapak-tapak kakinya yang mulai terkikis dari kelincahan dan kecerdasan yang ia miliki dulu. Kini usianya sudah 50 tahun.

Weny berhenti sejenak di teras rumahnya. Tak ada satupun yang menyambut kedatangannya. Ia menatap jam di tangannya yang sudah mulai keriput. Pukul 6 sore terdengar Muadzin mengumandangkan adzan magrib di masjid tak jauh dari rumahnya. Sorot lampu mobil Raya memasuki halaman rumahnya. Laki-laki muda turun dari mobilnya mendekati Weny Ia mengulurkan jabatan tangannya dan menciumnya. Raya memeluk pundak mamanya dan berjalan ke rumahnya yang masih setia mengikuti gaya arsitektur Kraton Solo mencerminkan budaya Jawa pada tahun 1955-an.

…….

Pada 15 tahun yang lalu Weny adalah seorang wanita karier yang lincah, cerdas, berwawasan luas, dan memiliki segala kenangan indah. Salah satunya yang masih terekam di kepalanya dan tidak pernah ia lupakan ketika saat itu ia harus mengikuti acara seminar di sebuah kota Budaya, kota Surakarta. Waktu itu 35 tahun usianya.

Weny sudah sejak pukul 04.00 dini hari telah mempersiapkan diri. Pukul 07.00 tepat harus berada di hotel untuk mempersiapkan meeting pagi ini dengan rekan-rekannya, dilanjutkan dengan menjemput pembicara dalam seminar. Salah satunya adalah seorang Doktor.

Pagi itu Weny mendapat tugas menjemput Doktor Suryo. Bel rumah Doktor Suryo ditekan 3X. Pintu rumah terbuka, keluar sosok laki-laki yang sederhana dan berwajah tenang.

“Silahkan masuk…..Kebetulan saya ada keperluan, undangan di hotel Quality. Apakah ada yang dapat saya Bantu? Apakah anda mahasiswa yang mau konsultasi sepagi ini….?”, tanya Doktor Suryo.

“Kami bukan mahasisiwi, saya Weny, justru mau menjemput Doktor untuk mengisi acara kami di hotel Quality pukul 09.00 nanti.”, jawab Weny dengan salah tingkah.

“Maaf kalau saya salah karena penampilan kalian tidak beda dengan mahasiswa aku di kampus”, kata Doktor Suryo dengan senyum.

Kekeliruan Doktor Suryo menjadi suasana tidak begitu tegang bahkan untuk menutupi kekeliruannya tadi Doktor Suryo sempat bergurau.

“ Saya harus bawa mobil sendiri atau ikut Nona Weny…. ? masalahnya saya tadi telah berkata salah yang menimbulkan rasa tidak enak di hati Nona Weny, keliru mengira nona Weny sebagai mahasisiwa jadi ada perasaan bersalah, saya ingin menebus kesalahan itu dengan cara apapun”, kata Doktor Suryo sebelum juga beranjak dari kursi tamunya.

“ Maaf Doktor sebenarnya saya juga merasa risih karena saya sudah berumur 35 tahun tapi kok dikira mahasiswa…”, jawab Weny sedikit tersipu.

”Makanya….saya mau minta maaf dengan cara apapun”, desak Doktor Suryo.

“Baiklah…..Nanti saya pikirkan apa yang meski aku jawab untuk penawaran ini dari Doktor meskipun sebenarnya saya merasa kalau bapak tidak perlu melakukan hal hal yang berlebihan seperti itu”, jawab Weny merendah.

”Nona Weny, saya ingin sekali melakukan sesuatu untuk anda hanya sekali hari ini saja, belum tentu kita dapat bertemu lagi…to…!, jawab Weny sambil berdiri dan keluar dari rumah Doktor Suryo.

Weny bernafas lega ketika Doktor Suryo mengeluarkan mobil dari garasi petanda dirinya tidak duduk dalam satu mobil.

Weny sebagai salah satu panitia penyelengaraan seminar selalu aktif ikuti acara demi acara selama seminar. Tiba-tiba weny tersentak mendengar suara mike di mana Doktor Suryo menyebut namanya pada saat memperkenalkan diri. Bagi Suryo yang sering tampil di muka umum sudah terbiasa dalam menyampaikan segala sesuatu di hadapan orang banyak tapi bagi Weny hal itu sangat berlebihan.

“Saya ucapkan terima kasih yang special kepada Nona Weny yang telah menginggatkan saya bahwa pada siang hari ini ada pertemuan untuk membicarakan sesuatu hal bersama hadirin peserta seminar, selanjutnya…”.

Suryo terus berbicara untuk memperkenalkan dirinya sebagai pembicara di lanjutkan dengan menyampaikan makalahnya dengan semangat. Sementara Weny berusaha keras agar hatinya tidak berdetak ketika telah disebut-sebut namanya. Ia terus dan terus menahan perasaan aneh yang ternyata tiba-tiba bergetar, perasaan gemuruh menyerang kearah hatinya yang terdalam manakala di ujung acara ada sms di hpnya dari Surya yang meminta untuk bertemu.

Weny duduk gelisah di lobi hotel, sebentar-sebantar pandangan matanya tertuju pada pintu lift keluar tidak jauh di depan matanya. Sudah setengah jam Weny menunggu, ia melihat jam tangan sudah menunjuk pukul 17.00, kemudian Weny melangkah ke arah pintu keluar menuju ke tempat parkir. Baru dua langkah Tante Weny berjalan pundaknya dipegang erat oleh seseorang.

“Doktor Surya…, aku pikir doktor sudah lupa dengan janji sendiri dan aku sudah bersiap-siap untuk pulang”. Surya melangkah diiringi Weny yang penasaran ingin sekali mendengar apa yang ingin disampaikan padanya.

”Maaf nona Weny…..”, tiba-tiba suara hp Suryo terdengar, ia berhenti berbicara untuk menerima hp. Sudah 10 menit Weny menunggu obrolan Doktor Suryo dengan mahasiswanya. Kemudian memasukkan hpnya ke dalam kantongnya.

” Maaf Nona Weny…. saya tidak biasa……”, belum selesai berbicara sudah terdengar lagi suara hpnya berbunyi, segera Suryo menerimanya dalam waktu yang lebih lama lagi. Weny merasa yakin kalau Doktor Suryo tadi pagi hanya bergurau kepadanya untuk meminta maaf, Weny semakin merasa yakin sekali dengan sikap yang mengenyampingkannya. Weny hanya bisa sedikit berharap Dokter surya bisa bersikap lebih baik dengan menggutamakan pertemuannya dan menggabaikan pembicaraan-pembicaraan dengan para mahasiswanya. Hati Tante Weny sedikit lega ketika Suryo mematikan hpnya dan melanjutkan pembicaraan lagi

”Weny… ujud permintaan maaf dariku berupa ajakan kepada nona Weny, untuk itu saya mohon Nona Weny masuk ke mobil saya”. Weny mengangguk dengan tersenyum.

Di sebuah restoran di jalan Slamet Riyadi tempat yang sejuk dan nyaman. Weny dan Suryo menunggu hidangan yang ia pesan. Suryo menatap dalam-dalam ke wajah Weny, kemudian tangan Weny dipegangnya. Dengan pelan Weny melepas tangan Suryo yang memegang erat jari-jari tangannya.

”Weny…. saya ingin mempunyai teman perempuan yang bisa dekat, dekat sekali bukan sebagai kekasih tapi sebagai teman untuk bertukar pikiran, curhat, saling mengingatkan, dll”. Weny tersenyum.

”Doktor Suryo orang yang pintar dan pandai bergaul, sudah pasti tidak kesulitan untuk menemukan teman seperti itu”, jawab Weny.

“Weny …… banyak sekali memang, bahkan yang mau menjadi teman mesra, orang bilang sebagai pacar gelap dengan suka rela tanpa tuntutan apa-apa banyak wen…, tetapi saya tidak tertarik, aku justru tertarik pada wanita yang punya sosok mandiri dan kuat. Dan sekarang saya sudah menemukan!”.

Weny kali ini tenang. Ia merasa berlebih kalau Suryo memilih dia yang sudah bersuami, harus menjadi teman baiknya Suryo dan tidak menanyakan apakah Weny sudah menikah atau belum. Weny pun tidak punya keinginan untuk bertanya-tanya lebih jauh kenapa Suryo mencari teman wanita, kenapa bukan istrinya saja, mengapa pula harus perempuan lain,dan apakah dia bercerai dengan istrinya.

“Weny….!” Weny terkejut dari lamunannya.

“Aku menemukan wanita itu, aku pilih yang sudah matang, dewasa, mandiri dan kuat, yaitu kau Weny….!”, kata Suryo sambil memegang pundak Weny untuk menyanggatkan.

“Tapi …. Aku merasa tersanjung sekaligus malu, usia saya sudah 35 tahun. Dokter bisa mencari yang lebih muda dan cantik!”. Jari Suryo menekan bibir Weny agar terdiam.

”Sstt….saya bukan mencari pacar tetapi mencari teman dekat atau sahabat lebih halusnya begitu, saya memerlukan itu”, ucap Suryo. Tenggorokan Weny langsung terasa sangat kering mendengar ucapan Suryo yang lansung memilihnya sebgai teman dekat.

Hari sudah gelap restoran sudah dipenuhi para pengunjung. Weny duduk bergeser mendekati Suryo.

“Dokter Suryo….anda nanti harus hadir pada acara malam hari untuk memberikan ilmu anda pada teman-teman di hotel dan ini sudah malam. Masih ada waktu untuk dokter mandi dan sholat. Tepat pukul 17.00 malam sudah harus ada di bar”, Weny mencoba mengingatkan.

”Weny ini satu bukti bahwa aku tidak keliru memilih kamu, kau wanita yang bisa mendorong prestasi seorang laki-laki hingga sampai ke puncak, aku bangga sekali bisa dekat denganmu”, Suryo meyakinkan Weny sambil memandang matanya dalam-dalam.

” Jangan terus menyanjung aku, aku bisa lupa daratan nanti”, sela Weny.

”Usai acara nanti pukul 23.00 aku ingin ngobrol lagi denganmu Weny, aku mohon kamu tidak menolak ya…...!”, Weny tidak menjawab hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan nyaris tidak kelihatan.

Persiapan acara seminar lanjutan untuk malam hari sudah selasai, Weny siap duduk sebagai notulis disebelah moderator. Kali ini Suryo terlihat tenang sekali karena ada dua teman lainnya yang hadir untuk berbicara salah satunya Weny wanita yang baru dikenalnya tetapi sudah menjerat hatinya erat-erat.

Selama acara berlangsung pandangan mata Weny tidak pernah lepas dari Suryo. Tetapi Suryo tidak menyadari hal itu. Dalam hati Weny mulai menyadari kalau Suryo tidak berwajah jelek. Di usia 40 tahun ini penilaiannya bukan pada tampang fisik seseorang tetapi lebih kepada apa yang ada di dalam diri seseorang, kemampuan lebih ia lihat pada sosok Suryo. Saat coffe break Weny duduk sendiri di ujung pojok yang agak remang-remang. Ia berpikir mampukah menjadi sahabat Suryo, yang ternyata sangat ia kagumi. Ia takut persahabatannya ini berubah menjadi jatuh cinta, Weny sudah punya suami meskipun tidak sebaik sehebat Suryo, ia memiliki seorang anak yang sudah duduk di kelas III SMA dan punya segalanya di rumah.

Dalam hati Weny, terus berkecamuk sederetan kalimat-kalimat mengadili isi hatinya pada Suryo.

” Aku tidak boleh jatuh cinta pada seseorang yang menganggap aku sebagai sahabat, apalagi baru aku kenal dekat pagi tadi”. Weny tidak menyadari di sampingnya telah duduk seorang laki-laki akhir-akhir ini ia pikirkan.

” Weny ....!”, Doktor Suryo menyapa Weny dengan lembut.

” Oh…. Pak Suryo, sudah lama ya, maaf saya tidak tahu kalau sudah ada seseorang ”, jawab Weny sambil menggeser dari tempat duduknya.

“ Sudah lama sekali aku memperhatikanmu dari jauh, dari mulai makan roti di atas piring kecil ini sampai habis, sampai kamu menggigit sendok di atas cangkirmu itu….”,jawab Suryo menatap tajam wajah Weny yang merasa risih diperhatikan.

Ada yang dapat saya bantu pak….Sepertinya bapak mendekati saya ada maunya”, kata Weny menebak sengaja mengalihkan pembicaraan.

”Pinter banget kamu mengalihkan pembicaraan, begini… saya membutuhkan waktu dan tempat untuk menyusun makalah yang akan saya sampaikan besok siang ditempat yang tenang. Hanya malam ini saja, bisakah nona Weny mengantar mencarikan tempat yang tepat untuk saya ….!”. Weny berpikir sejenak kemudian berkata.

” Kelihatannya saya bisa membantu, mudah-mudahan ada kamar istimewa buat bapak di hotel ini”.

Acara seminar lanjutan sudah selesai, Weny segera menghubungi bagian resepsion untuk mencari kamar buat Suryo, tetapi kamar yang diingingkan tidak ada. Semua kamar sudah terisi dari tamu luar dan tamu seminar. Weny segera menemui Suryo.

“Dokter Suryo ….maaf ternyata kamar sudah terisi semua, apa bapak mau cari hotel lain atau mau memakai kamar saya ?”, Tanya Weny.

“Aku tidak mungkin pindah hotel lain yang belum tentu ada kamar kosong juga., besok pagi padat acaranya, rasanya sudah capek sekali….seandainya aku boleh ke kamar nona Weny untuk sekedar bersih-bersih badan boleh tidak…?”. Weny benar-benar tersanjung mendengar permintaan itu.

“Tapi kamar saya bukan kamar VIP saya tidak enak kalau doctor Suryo tidak bias istirahat dengan rileks…tetapi kalau bapak mau saya senang sekali untuk mengantar dan menemani bapak….”. Weny tersenyum dan mengambil tas di atas meja ruang lobi hotel. Weny segera membantu Suryo untuk segala sesuatunya.

Hati Weny sempat terkesiap saat menyadari saat ini dia hanya berdua di kamar hotel bersama Suryo. Namun perasaan itu segera disingkirkan cepat-cepat. Ia tidak sedang berselingkuh, Weny hanya menolong seorang Suryo yang sedang, mengalami kesulitan.

“Dokter Suryo..!”, kata Weny.

“Weny saat ini bukan di tempat seminar jadi jangan panggil dengan jabatan, kamu noleh panggil aku apa saja, mas, kang, aa’,…dst biar tidak kaku begitu!” jawab dokter Suryo rileks,

“Ya….mas Suryo…, silahkan bersih-bersih badan di kamar mandi, kemudian istirahat tapi maaf kalau saya masih harus menyelesaikan beberapa laporan acara malam ini, mungkin mas Suryo merasa terganggu, saya akan pindah tempat….!”, Suryo segera memotong pembicaraan.

“Jangan pindah tempat lain, kamat ini sudah terlalu luas untuk kita berdua, dhek Weny bias mengerjakan di ruang tamu itu, saya akan istirahat di ruang sebelah”.segera Suryo mencegah keinggunan Weny.

Kamarnya memang cukup luas, satu kamar dipisah dengan sket tembok menjadi dua ruang. Ruang tamu dan ruang tidur. Sementara Weny menyelesaikan untuk keperluan laporan. Ia tidak menyadari hari sudah menunjukan 02.00, Weny segera merapikan laporan-laporan acara seminar siang dan malam tadi, kemudian mematikan laptopnya. Weny sesaat lupa bahwa dikamarnya ada seorang laki-laki dengkuran halus di kamarnya. Weny memegang jidatnya, ia baru menyadari ada seorang laki-laki di kamarnya. Tiba-tiba terdengar alarm jam di HP Suryo. Suryo terbangun. Kemudian berjalan ke kamar mandi. Sesaat Weny duduk tidak bergerak sama sekali. Biasanya sepertiga malam seperti ini Darto suaminya paling suka menggoda untuk meminta jatah ekstra, Weny sering tidak tertarik apalagi punya hasrat sama sekali tidak. Kalaupun Weny bangun terlalu pagi ia lebih suka mempersiapkan hal-hal untuk esok harinya. Tapi Darto lebih suka tidur di bawah selimut sambil mengusap-usap badanku yang hangat, Darto selalu bilang “Weny badanmu hangat sekali aku akan memanfaatkan kehangatan ini ya..?” Biasanya Weny hanya diam, tidak ada penolakan dari Weny.

“Weny….kamu belum tidur tidur tho… Kalau begitu cepat kamu tidur, istirahat itu penting apalagi sehari ini kamu beraktivitas”, kata Suryo, sambil duduk di sebelah Weny membuka laptopnya. Weny segera menyadari lamunannya.

“Gantian aku yang akan mempersiapkan buat kegiatan esok hari…”. Weny bangkit sari duduknya kemudian mengambil cangkir, membuatkan kopi susu untuk Suryo.

“Mas Suryo….diminum dulu kopi susunya biar mata bisa lebih terang, tidak keliru nulisnya…”. Weny mengulurkan cangkir ke tangan Suryo tapi tanpa Suryo tercengang melihat sikap Weny. Weny juga segera menyadari kalau itu sikap remajanya dulu saat tangannya dipegang Darto pertama kali. Kali ini Weny memang takut hal itu terjadi lagi padanya.

“Weny…Maaf aku tidak sengaja”. Kata maaf Suryo menyadarkan kekhawatiran Weny. Sebenarnya Weny menyadari ada rasa kagum tanpa ia sadari. Sebenarnya Suryo ingin Weny bersikap lebih naik lagi bukan sekedar memnerikan kopi susu saja, tapi dalam keadaan capai Suryo tidak bisa memaksa Weny untuk membantu menyelesaikan persiapan tugas esok harinya. Weny langsung ke tempat tidur membaringkan badannya ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga. Sebelum tidur ia teriak kembali Darto yang tidak pernah menciumnya sebelum tidur atau sekedar mengucap selamat tidur. Ia lebih banyak berkhayal sambil memejamkan matanya merasakan ciuman hanyat bibir Darto menempel di bibirnya kemudian hayalan lama Weny tetap hayalan yang tidak pernah ia dapatkan bersama Darto. Tak seberapa lama Weny sudah mulai terlelap di balik selimutnya. Dua pasang cicak yang sedari tadi bercumbu dikamarnya berjalan sendiri-sendiri dengan arah yang berbeda sepertinya tahu apa yang terjadi dalam kamarnya ini.

Dua jam sudah Pak Suryo menatap laptop kesanyangannya. Kemudian ditutupnya cangkir di atas meja sebelah tangan kanannnya yang sudah mongering

Sayang….Weny masih tertidur pulas….Suryo tidak ingin membangunkannya hanya untuk membuatkan kopi susu. Ia memesan sarapan ke hotel, untuk diantaranya ke kamar hotel, kemudian Suryo menghubungi petugas di hotel melalui resepsionis.

“Selamat pagi…”, kata Suryo pelan dekat sekali diganggang telepon, ia tidak ingin Weny terbangun karena suaranya”.

“Pagi pak….! Ada yang bisa saya Bantu untuk bapak di kamar no berapa!”, jawab salah satu pegawai resepsionis hotel.

“Tolong antar sarapan pagi 2 porsi lengkap dengan minuman hangat ke kamar no 25, makasih sebelumnya…!”. Suryo bangkit pelan-pelan melihat sepintas ke Weny yang masih terlelap. Suryo menatap Weny yang mendengkur halus, dalam hatinya berharap Tuhan berkenan memberi kesempatan untuk menikah yang kedua, dia berharap Wenylah pilihannya.

Berdua bersama Weny di kamar itu tidak ada keingan buruk padanya, yang ia tahu apabila ada dua orang berbeda jenis kelamin berduaan dan orang ketiganya adalah setan, tapi hampir tujuh jam ini Suryo bersama Weny tidak ada keingan sama sekali untuk berbuat yang tidak-tidak. Suryo laki-laki dewasa normal begitu juga dengan Weny, bisa saja melakukan hal-hal mesra layaknya suami-istri tetapi dalam dirinya tidak ada dorongan ke arah itu. Apa ini yang namanya cinta yang sesungguhnya mencintai tanpa harus di ucapakan, mencintai tanpa harus menyentuh ? terlihat Weny sedang mengeliat, selimutnya tersingkap sedikit, betis kakinya terlihat sekali. Suryo lebih memastikan lagi perasaanya, tapi kenapa tidak merasakan rasa rangsangan kelaki-lakianku ketika melihat betis itu, Suryo berjalan mendekat ranjang menutup betis itu dengan selimut yang tersingkap. Suryo melihat cicak di sudut atap kamar bergericak menyanjung kebaikan pribadi Suryo.

Suryo bersiap-siap bangkit setelah sarapan tapi Weny belum ada tanda-tanda bangun. Ia menulis surat di taruhnya di atas meja kemudian pergi menuju tempat lain di mana ia akan memberikan makalahnya di seminar. Langkah Suryo membuka pintu merasa berat, belum sempat ia mengucapkan terima kasih tapi waktu harus mengejarnya terus. Suryo keluar mengendarai mobil ke jalan menuju Kentingan.

Weny terbangun bergegas cepat untuk mandi. Di atas meja di samping Hpnya ia melihat secarik kertas terlihat berbunyi ;

Weny ….

Aku bisa memastikan tanpa ada kamu di sampingku tadi malam aku tidak bisa leluasa bernafas lagi, terima kasih hanya untukmu. Entah kapan kita bisa bertemu lagi karena aku tidak tahu seberapa jauh ketulusanmu padaku.

(Mas Suryo)

Weny memegang dadanya, merasakan getaran jantungnya semakin berubah.

“Kenapa dadaku berdetak keras, Suryo belum pernah berkata kalau dia mencintaiku tapi kenapa aku merasa ia mencintaiku, sikapnya biasa-biasa saja, semalam tidak ada yang berubah kepadaku, tempat tidur rapi, selimut rapi, bantal juga rapi ia tidak melakukan apa-apa padaku. Ternyata aku tidak salah menolongnya semalam tadi, aku bahagia sekali bisa melakukan sesuatu pada orang yang aku kagumi tanpa harus mengkhianati perkawinanku dengan Darto”, kata Weny pelan-pelan.

Weny tersenyum bahagia membaca tulisan itu ,ia berharap suatu saat bertemu lagi dengan Suryo ia akan mengatakan apa yang sebenarnya ada di hatinya, aku tidak bisa berpura-pura untuk tidak mengaguminya. Bukan itu saja yang akan dikatakannya ia akan berkata bahwa ia sangat menghargai persahabatannya ini selama-lamanya, bahwa ia akan siap untuk menjadi teman terdekatnya sedekat apapun untuk setiap saat dibutuhkan dan sebaliknya dan ia akan memastikan apakah ada perasaan denyut-denyut di hati seperti saat tersentuh tangan Suryo malam tadi. Kalau sama berarti bukan lagi persahabatan tapi sudah ada rasa saling cinta.

“Kalau Suryo mengatakan ia mencintaiku apa yang harus aku lakukan. Membalas cintanya adalah hal yang tabu terjadi. Tidak…tidak boleh, aku harus pura-pura mengatakan bahwa aku tidak mencintainya, biar perasaan ini aku tanam saja sampai akhir hayatku”, kata Weny pelan sambil mengambil kertas yang ia pegang sejak tadi kemudian di bawah tulisan Suryo ia tulisi kata-kata :

“Aku tulus untuk menemanimu sebagai laki-laki sebatas mencintaimu ?”

Weny

Weny beranjak dari kursi masuk ke kamar mandi !, terdengar alunan lagu disela-sela guyuran air di kamar mandi “Kau selalu di hatiku” menandakan hati sedang berbunga-bunga.

Pagi itu Weny sudah rapi siap menyerahkan laporan acara seminar kepada atasannya.Tiba-tiba ia berdiri tertegun dan hatinya berdenyut kencang melihat laki-laki masuk ke kamarnya .

”Mas Suryo kau …. bukannya sudah pergi?”, Weny mendekat ke Suryo, Suryo mengambil kertas yang tadi ia tinggal di meja untuk Weny dan menyerahkan kertas yang telah ia baca yang ada di atas meja.”Weny … benar kau tulus menemani aku …. ?”, Weny mengangguk

“Dan Mas Suryo sendiri apa juga tulus…?”, tanya Weny

Tangan Weny dipegangnya erat dan di letakan di dadanya “Weny kau harus tahu hatiku menjerit ingin sekali bersamamu aku mencintaimu, Wen… aku tidak ingin membuang kesempatan ini aku tidak tahu kapan lagi bisa bertemu denganmu lagi”. Suryo memeluk tubuh Weny erat.

“Tapi mas Suryo aku tidak bisa mencintaimu”, Suryo kaget mendengar kata-kata Weny .

“Kenapa Wen…”, desak Suryo

“aku tidak bisa mencintaimu dalam keadaan seperti ini!”, kata Weny menegaskan.

”Mas Suryo aku juga menyayangimu tapi aku juga mencintai keluargaku, anakku, aku tidak bisa hidup tanpa anakku mas”. Weny berkata pelan sekali.

“Wen…kalau kita menikah kita bisa punya anak lagi dari aku seberapapun kau mau…?”. Weny membelalakkan matanya.

“Mas Suryo kau sadar sudah 40 tahun, dan aku 35 aku tidak mungkin punya anak lagi, aku tidak mungkin cerai dengan suamiku tanpa ada alasan dan aku tidak mungkin menikah denganmu laki-laki yang belum lama aku kenal”. Weny duduk di ruang tamu Suryo menyusul duduk di sebelahnya memberikan minuman untuk Weny.

”Minumlah Wen…biar hatimu dingin…”, kata Suryo menenangkan.

”Weny minum beberapa teguk air. “Wen…aku tahu kalau kita sudah tidak muda lagi, tapi kau harus sadar perasaan kita sama, saling mengagumi, saling mencintai, kau menolak mengatakan itu kan Wen…?”, Weny tertunduk tidak menjawab sepatah katapun.

”Weny.., aku tahu ini tidak boleh terjadi tapi kau harus tahu bahwa aku tidak bisa menyimpan perasaan ini padamu !, tegas Suryo.

“ Mestinya perasaan itu kau simpan saja untuk istrimu”, Weny memalingkan muka menutupi air matanya yang mulai menetes. Air mata yang sedang mengatakan kejujuran hatinya yang gersang yang sangat membutuhkan sosok laki-laki yang mampu memberikan kesejukan. Suryo segera menangkap arti air mata itu.

“Wen… jujurlah padaku hatimu akan lega, katakan kau juga mencintaiku” Suryo memegang erat dagu Weny, kemudian diusapnya air mata yang membasahi pipi weny.

“ Mas Suryo…Aku mencintaimu mas…” Suryo memeluk erat tubuh Weny, erat sekali.

“Makasih Wen”, Suryo mengecup kening Weny, kemudian dipendamkannya dalam-dalam kepala Weny di dadanya.

Mendengar atasan Weny mengundurkaan meeting pagi ini membuat hati Duryo bersorak. Buat suryao rasanya tidak adil kalau kalau tidak berterus terang tentang isi hatinya pada Weny, Tetapi tidak adil juga buat Weny jika suryo memaksakan dirinya untuk membalas cintanya, sementara saat ini hubungan dengan suaminya memang tidak ada masalah yang mendasar. Sepintas memang idak ada masalah tapi sudut mata Weny mengatakan ada rasa kebosanan yang teramat sangat dengan suaminya. Hanya saja Weny sebagai perempuan masih mampu menahan diri untruk tidak berpaling dengan laki-laki lain secara terang-terangan. Sebaliknya dengan Suryo laki-laki yang lebih cenderung berterus terang mengungkapkan terang-terangan rasa cintanya pada Weny. Sudah barabg tentu Weny merasakan terlalu cepat menerima cinta laki-laki lain saat di hatinya masih ada Darto. Darto mengisi waktu kosong yang hanya beberapa jam dengan pembicaraan yang cukup hangat, mengenal pribadi masing-masing lebih dalam lagi dan menceritakan keluarga masing-masing.

“ Aku sudah beristri dengan 3 anak gadis-gadis. Tanpa alasan tiba-tiba istriku minta cerai dari aku dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Sejak bertemu dengan kau, aku jadi memiliki kekuatn untuk berbuat sesuatu menyikapi permintaan istriku’, Suryo menenggak air putih dingin di atas meja kemudian melanjutkan pembicaraannya kembali.

“ Aku akan mengabulkan permintaannya”, jawab Suryo.

“ Sebaiknya mas Suryo jangan langsung mengabulkan permintaan cerai itu, cari tahu dulu alasannya”, Weny menganggapi ucapan Suryo.

” Yah… aku memangharus mencari alas an itu’.kata suryo sambil memegang erat jemari Weny untuk menemukan kekuatan.

“ Dia wanita yang penurut tidak pernah berikap macam-macam. Setiap kali aku keluar kota, aku selalu telpon ke rumah dan yang menerima selalu istriku”, Suryo kembali menengguk air putih beberapa kali.

“Mas Suryo…boleh aku Tanya lebih pribadi lagi” Tanya Weny hati-hati.

“Apakah mas Suryo terlalu aktif atau bahkan sebaliknya dalam hubungan suami secara khusus?”, Tanya Weny menatap mata Suryo.

“Terus terang aku terlalu capaek untuk melakukan maneuver-manuver di atas langit, kau tahu sendiri kegiatanku setiap hari”, jawab Suryo yak bersemangat.

“Jangan tersinggung kalau aku katakana kalau Mas Suryo suami yang membosannya di hadapan istri mas, palagi kalian punya dunia kesibukan yang jauh berbeda. Selain itu seorang istri penurut karena ada peraturan yang harus di taati dan peraturan itu ditanamkan secara paksa begitu mas…?”’ Tanya Weny mendesak. Suryo tidak menjawab hanya anggukan berat kepalanya yang menjawab.

Weny berdiri memegaang, memijat pundak Suryo pelan-pelan untuk mengurangi beban di pundak Suryo.

“Sudahlah mas…biarlah semua itu berlalu, lupakan kalu itu menyakitkan, kita rubah untuk menuju kebaikan ke depan, saya tahu mas Suryo masih sangat sayang dengan istri, berubahlah demi keutuhan keluarga”. Suryo menarik tangan Weny yang sedang memijat pundaknya, ditariknya ke depan. Dipeluknya badan Weny erat sekali dan berkata.

“Wen…kenapa kamu bersikap seperti itu…kamu mestinya tahu kalau kita sedang jatuh cinta, tetapi kenapa kau justru menyuruh aku untuk berbaikan dengan istriku. Mestinya kau dukung aku untuk bercerai hingga kemudian kita menikah”. Weny mengelengkan kepalanya.

“Tidak mas…sekalipun aku tidak bersuami, aku tidak akan melakukan hal itu, aku menyayangi mas Suryo, aku tidak ingin membuat mas Suryo dalam kesulitan, kalau rumah tangga yang sudah retak bisa utuh kembali dan membuat mas Suryo bahagia akupun ikut merasakan bahagia” kata Weny tulus.

Suryo hanya bias menjerit dalam hati “Ya Tuhan… ijinkan aku untuk memiliki Weny sebagai istri, aku ingin bahagia dalam ketenangan menghadapi hari tua nanti”. Suryo tidak ingin Weny tahu isi hatinya yang teramat cepat bergerak kea rah perasaan cinta yang sangat dalam dan luas, seluas samudra lepas membentang dalam pulung jiwanya yang terus bergerak memutar, memusar menusuk ke dalam pulung hatinya yang paling dalam.

Weny menggambil piring kecil berisi potongan-potongan buah segar dari dalam kulkas.

“Mas Suryo…sebelum kita berpisah, aku ingin sekali nyuapin mas Suryo buah-buahan ini sampai habis, Mas Suryo tetap menyiapkan untuk acara nanti jangan merasa terganggu ya…!”, kata Weny manja.

“Ini ada lima potongan buah masing- masing memiliki petanda yang berbeda-beda, Buka mulutnya Mas…hak…” Suryo ragu-ragu membuka mulutnya.

“Mudah-mudahan dapat membuat mas Suryo selalu alam keadaan sehat. Kata Weny sambil tersenyum geli menyaksikan keraguan Suryo.

Buah kedua, semoga rizki selalu mengalir dengan lancar”, Suryo hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, buah yang masuk di mulutnya terlalu besar hingga merepotkan untuk menanggapi ucapan Weny.

‘Ndah….sekarang buah ketiga mudah-mudahan karier mas Surya selalu meningkat naik ”, Suryo tidak menyangkan Weny berharap sejauh itu sampai tidak menyadari air liur di mulutnya membasahi dagunya. Dengan pelan sekali Weny mengusap dagu Suryo yang basah dengan selembar tissue.

”Nah sekarang buah yang ke-empat ….”, Suryo menahan tangan Weny.

“Sebentar Weny …. Apa kamu selalu bersikap seperti ini pada Darto ….?”. Weny menggelengkan kepalanya.

“Dan ini buah ke-empat agar rumah tangga mas Suryo selalu bahagia dan…?, Weny berkata sambil tersenyum.

Weny tidak bisa melanjutkan kalimatnya, ia menelan ludah terasa seperti menelan seonggok batu di tenggorokannya.

“Kenapa berhenti Weny … kalau begitu buah ke-lima ini untukmu !”. Cepat Suryo mengambil sendok buah dan diarahkan ke mulut Weny.

”Mudah-mudahan disuatu saat kita bisa bertemu lagi sepeti ini”,Weny terdiam sebenarnya dibenaknya sudah terbersit kalimat seperti itu, tetapi tidak bisa keluar dari mulutnya. Suryo mengambil piring kecil di tangan Weny dan menaruhnya diatas meja sambil berkata

“Weny … aku ingin tahu, aku ingin kau jujur , apakah kau sedang dalam masalah dengan Darto suamimu ….?”. Weny berusaha bersikap tenang, menahan diri agar tidak kelihatan bahwa dirinya sedang dalam masalah dengan Darto dan sebenarnya ia sendiri tidak tahu pasti apa masalahnya. Tapi kali ini Weny benar-benar tidak dapat menahan diri untuk menutupi keadaan yang sebenarnya.

“Iya … mas ….!”. Weny tidak dapat melanjutkan kalimatnya lagi, mendadak terasa dilehernya daging keras yang menyumbat kalimat-kalimat yang akan ia sampaikan. Suryo tidak mengira penampilan Weny yang selalu tenang sama sekali tidak mencerminkan kalau sedang menghadapi masalah. Suryo memegang pundak Weny dengan kedua tangannya yang kokoh, kemudian menatap wajah Weny dalam-dalam.

“Apa masalahnya … ceritakan …!”. Weny membuka mulutnya pelan-pelan.

“Mas Suryo tidak pernah menyerahkan kepadaku dalam urusan rumah tangga, ia percayakan kepada ibunya sebagai mertuaku. Aku hanya berperan di kamar dan harus selalu siap melayani keinginan-keinginannya disetiap saat ia mau, tanpa ada pertimbangan, apakah aku siap atau tidak, bisa menikmati atau hanya sekedar melayani. Sebagai istri aku juga ingin bias di anggap ada keberadaannya, orang jawa bilang ngewongne. Menempatkan aku sebagai mana kedudukan sebagai perempuan dan istri. Aku seperti kehilangan sayap di depan suamiku sendiri

“Menurutmu, aku ini perempuan apa to mas Suryo …?”. Weny terdiam sejenak, sambil melihat jari-jari kukunya yang terpotong rapi.

“Weny … kamu seorang perempuan yang mempunyai pekerjaan yang menjamin masa depan, punya karier, mengapa kau memfonis diri kamu sendiri seperti itu ?”, jawab Suryo pelan.

“Mas Suryo menurutmu, adakah hargaku di mata laki-laki ….?”. Suryo menghela napas panjang. Suryo tidak bisa membayangkan laki-laki seperti Darto tidak mau memberikan harga sedikitpun untuk penghargaan pada hati dan perasaan perempuan secantik dan sebaik Weny. Apakah menurutnya Weny hanya perempuan pemuas saja. Sudah pasti cara Darto menghargai Weny berbeda dengan cara Suryo menghargai Weny. Bagi Suryo Weny sangat haus perhatian dan kasih saying yang sebenarnya, suka dimanja dan di sanjung, tapi Weny juga seorang wanita yang suka memanjakan laki-laki. Cara dia memberikan minuman, makanan, cara duduk, tersenyum, semuanya menandakan seorang wanita yang sangat menyenangkan.

“ Mas Suryo…”, suara lemah Weny mengagetkan lamunan Suryo.

“Weny… kamu tu perempuan yang cantik, yang terpancar dari dalam pribadimu yang tulus, kuat, dan menarik.”’ Balas Suryo peran. Kemudia Ia berkata lagi.

“Pernahkah kata cerai keluar dari bibirmu untuk Darto, atau sekedar kepikir dalam pikiranmu? Tanya suryo hati-hati.

“Belum pernah’. Jawab Weny singkat.

“Emangnya kenapa …? Tanya Weny penasaran.

“Seandainya yang mengucapkan kata cerai tiu Darto, apakah kau menerima, kemudian apakah kau akan membuka peluang untuk menikah lagi?” Suryo bertanya sambil memegang lembut tangan Weny, dengan memegang tangannya suryo berharap akan mendapat jawaban yang pasti.

“Secara umum teori perkawinan hanya sekali seumur hiduptetapi realistis mengatakan hal itu dapat berubah sewaktu-waktu. Seandainya masih ada orang yang mau menemaniku di ujung usia pasti aku akan menerimanya dengan tulus.aku tidak suka dalam kesepian dan kesendirian.Bagiku kesepian adalah badai bisu yang berbahaya jarena dapat meluluhlantakkan semua kenangan indah yang pernah ada. Aku termasuk orang yang sangat menghargai sebuah kenangan baik maupun buruk karena kenangan adalah bagian kehidupan yang tidak akan pernah terpisahkan”. Kemudian Suryo bertanya lagi.

“Kenapa kamu jadi bersikap seperti itu, bukankah kamu masih mencintai darto?” selidik Suryo.

“Aku memang harus bisa bersikap dalam menghadapi Darto kali ini, kemaren-kemaren aku hanya bias melihat garis-garis di telapak tanganku saja, aku tidak berani memandang keidupan yang sesungguhnya.Aku hanya bisa diam saja, mengurung diri dalam dunia yang sempit penuh kepasrahan.Hanyalah rasa kegelisahan dan ketakutan memandanng bayangan sendiri”. Suryo memandang dalam sekali sampai ke relung-relung hati weny.

Suryo semakin menggagumi pola piker Weny yang sederhana tapi pasti. Dalam hati suryo hanya bias menerka-nerka siapa yang akan dipilih Weny kalau benar-benar terjadi perceraian antara Weny dan Darto. Seandainya bukan dirinya yang dipilih untuk penganti Darto…..? Suryo bias memastikan hari-harinya penuh dengan kehancuran tidak seindah hari ini. Denyut jantung Suryo berdetak keras menyadari bahwa dirinya merasakan adanya kemunculan rasa takut kehilangan sosok Weny. Keringat dingin keluar pelan-pelan di badan hingga telapak tangannya. Cepat-cepat ia melepas genggaman tangannya yang sedari tadi terus menggenggam tangan Weny kemudian meneguk air satu gelas dalam satu kali tegukan. Weny menoleh kelakuan suryo yang terlihat berlebih. Suryo tidak berani membalas pandangan Weny yang masih tetap cantik meskipun sudah terlihat guratan garis tipis di bawah matanya.

“Mas Suryo kenapa,,,/sakit ya,,,?”, Weny menyentuh leher dan keningnya yang basah oleh keringat dingin.

“tidak apa-apa kok aku sehat” jawab Suryo dengan gugup. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, Weny bangkit membukakan pintu menerima kiriman bunga dari seseorang tanpa menyebut namanya hanya menulis pesan di kartu namanya.

Weny…sampai kapan waktumu dapat membuka pintu hati untukku, aku berharap Darto bukan yang terbaik untukmu…..

Suryo tidak berani mendesak menanyakan siapa orang yang mengirim karangan bunga itu. Suryo berpikir pastilah orang yang special di hati Weny. Dalam hitungan detik Suryo sudah merasakan kecemburuan yang terasa mengelisahkan hatinya.

“Orang itu pernah dekat dengan aku, dekat sekali tetapi aku tidak bisa mencintainya seutuhnya. Kemudian aku meninggalkannya. Dia sampai sekarang masih penasaran dengan keputusanku”. Jelas Weny.

Detik demi detik terus berjalan merangkak, seiring perjalanan hatinyanya yang terus baranjak naik seperti elombang lautan yang meninggi semakin meninggi dan akhirnya terjatuh terpelanting di bibir-bibir pantai. Suryo mendekati Weny kemudian berkata.

“ Hari sudah mulai siang aku harus menyelesaikan tugas-tugas berikutnya di kota ini, aku ingin mengatakan sesuatu sebelum kita berpisah”, Suryo berdiri menarik tangan dan badan Weny kea rah dekat pintu.

“Wen…Selamat tinggal ya.seandainya tidk pernah ada kata perceraian dalam rumah tanggamu lupakan aku,…tetapi kalau Darto menceraikanmu, akulah orang yang selalu siap mengantikan kedudukan Darto dihatimu”, Kata Suryo berharap.

“Mas Suryo aku berharap jangan ada kata perceraian dalam rumah tanggamu, da..lupakan aku”. Suryo spontas mengecup bibir Weny, Weny tidak menolaknya, ia membalas dengan lembut.

Perkawinan bagi Weny laksanana gunung yang menjulang tinggi dengan kekuasaannya berdiri kokoh, berakar kuat, dikelilingi mata rantai yang terbuat dari emas yang akan dapat membelenggu jikalau tak dapat merangkainya dengan baik. Dan perkawinan akan menjadi tempat perlindungan manakala dapat secara bersamaan dan bermuara di dalamnya. Sedangkan cinta adalah lambing penyatuan dua hati manusia yang berbeda yang terpadu dalam kebersamaan.

Malam hari Weny sudah berada dirumah asyik ngobrol dengan anak satu-satunya Raya. Melepas rasa kengen dengan anak kesayangannya.Tiba-tiba Raya berkata.

”Mah….kelihatannya mama harus memilih, tetap setia dengan papa tapi siap menerima sebagai istri pertama, atau berpisah dari papa. Raya ikut mama apapun yang terjadi!”. Raya memegang erat tangan mamanya yang tidak tahu apa yang terjadi selama ia tidak di rumah.

“Maksud kamu apa Raya?”Tanya Weny pada anaknya.

“Maaf mah…Raya pikir mama sudah tahu, tapi mama harus tegar ….. karena Raya selalu ada disamping mama”. Raya mencoba menguatkan hati Weny sebelum menyampaikan perkembangan papanya selama di tinggal Weny keluar kota.

“Katakan Raya…..biar mama tidak penasaran!”. Raya memandang kasihan, melihat sifat mama yang lugu.

“Begini Mah….. Raya tahu ada perang dingin antara Mama dan Papa. Papa ternyata lebih memilih perempuan lain yang dapat membantu kesulitan-kesulitannya dalam hal materi. Papa terlibat hutang yang tidak sedikit pada seorang perempuan teman bisnisnya, untuk menutup hutangnya pada perempuan itu, papa rela menikahinya, mama tahu perempuan itu……?”, Tanya Raya pada Mamanya.

“Belum Raya…….emangnya ada dan siapa perempuan itu ?”,tanya Weni sambil menahan jerita hatinya yang perih.

“Ada Mah……perempuan kaya yang sering bertemu Nenek itu, dan Nenek sudah menyetujui !”. Hati Weni terasa panas tersumbar petir menghanguskan segala yang dilahat oleh matanya. Hati Weni laksana medan peperangan di bawah semburan petir. Rumput-rumputnya terbakar hangus. Gunung-gunung memerah membara tetapi wajahnya tetap tenang seakan tak terjadi apa-apa.

Semalan Darto dan Weni diam tidak ada kata-kata yang terucap, tidur dalam satu kamar, dalam satu ranjang tapi saling membisu. Hingga siang harinya seorang perempuan datang mencari Darto. Darto menerima tamu itu dengan sikap yang gelisah, sebentar-sebentar melihat kea rah pintu kamar Weny. Melihat hal itu. Weni segara menyingkir dari pandangan tak sedapitu. Dibalik pintu Weni mendengar pembicaraannya. Benar kata Raya, Darto dan perempuan itu sedang membicarakan bagaimana caranya menyampaikan maksudnya untuk menikah lagi dengan perempuan yang telah membantu menghadapi kesulitan-kesulitan keuangannya selama ini kepada Weny. Begitu perempuan itu pergi Weny segara menghadang Darto saat menutup pintu, lalu berkata.

“Aku ijinkan kau menikah dan kau boleh menceraikanku”. Weny menahan air mata yang ditahannya sejak sore hari. Kemudian Weny pergi meninggalkan Darto sebelum sempat dijawabnya. Sejak saat itu Weny tidak pernah lagi mengingat Darto. Seakan-akan album yang ia simpan tak akan pernah ia buka selama-lamanya.

…………………………….

Raya masih memeluk pundak mamanya ketika menutup pintu rumahnya yang hanya dihuni oleh mereka berdua. Di daerah dekat pantai, jauh dari rumahnya yang dulu ditempati bersama Darto. Raya menahan tangan mamanya melarangnya untuk menutup pintu.

“Kenapa pintu ini tidak boleh ditutup, sudah malam, entar semua nyamuk masuk raya…!” kata Weny sambil menutup pintu. Raya segera membuka kembali pintu yang telah ditutup dan dikunci oleh Weny.

“Mam…jangan ditutup, bertahun-tahun Raya menantikan kedatangan seseorang, seseorang yang menurut Raya sangat cocok buat kita terutama mama”. Pancing Raya ke mamanya.

“Siapa to ya…?” tanya Weny penasaran.

“Dua hari yang lalu, Raya tanpa sengaja bertemu dengan seseorang di toko buku Gramedia. Kita ngobrol banyak, ujung obrolan ternyata kenal mama, yang lebih menarik lagi katanya sudah mencari mama hampir sepuluh tahun ini”, penjelasan Raya penuh semangat pada Weny mamanya. Raya keluar menuju teras rumah, sementara Weny tetap duduk di ruang tamu.

“ Sebentar mah…raya keluar sementara mama tetap di sini ya..!” kata Raya mengatur weny. Tak seberapa lama terdengar Raya sedang berbicara akrab dengan seorang laki-laki tengah baya. Kemudia mereka masuk ke dalam rumah.

“ Mah…lihat raya membawa siapa…!”, raya masuk mengandeng seseorang. Weny tidak percaya menyaksikan pemendangan di depan matanya yang hamper terlupakan.

“Mas Suryo…aku tidak salah, aku tidak mimpi kan…?”, Tanya Weny tidak percaya. Suryo dengan gayanya yang khas langsung memeluk Weny dan menenggelamkan kepala Weny ke dadanya. Kedua orang itu saling berpelukan. Rambut Suryo sudah berubah warna hampir semua berwarna putih, demikian juga dengan rambut weny yang sudah mulai berwarna tapi perasaan di hati mereka berdua tidak pernah berubah. Raya masuk ke dalam ruang dapur membiarkan mereka berdua saling melepas kerinduan. Tak seberapa lama Raya masuk ke ruang tamu membawa minuman dan membawa kotak kecil dan berkata kepada Weny mamanya dan Suryo.

“Mama dan Om Suryo, sebenarnya Raya sudah menyiapkan benda ini tepatnya ketika kami, saya dan Om Suryo bertemu dan kembali bertemu membicarakan tentang mama dan rencana keingginan Om Suryo untuk menemui Mama. Hati Raya tersentuh mengetahui niat Om suryo yang tulus.” Kata Raya memandang keduanya.

“ Maksud kamu apa anakku…?”’ Tanya Weny. Suryo diam karena mengetahui arah pembicaraan Raya tidak jauh berbeda dengan keingginannya.

“Begini ma…Raya kemarin telah membeli sepasang cincin satu untuk mama dan satu lagi untuk om Suryo, Apakah mama dan om Suryo menyetujui usul Raya?”. Tanya Raya ragu-ragu.

“Raya…kau mengingginkan mama dan om Suryo memakai sepasang cincin ini layaknya sepasang suami istri…kamu tahu mama sudah tua demikian juga dengan om Suryo”, kata mamanya menegaskan.

“Weny...tepat sekali apa yang disampaikan anakmu Raya, dan itu sesuai keingginanku yang telah lama terpendam. Lama sekali… aku berharap kau menyetujuinya,” kata suryo memohon. Tanpa menunggu persetujuan Weny suryo mengambil cincin dan memasukannya di jari manis Weny. Tidak ada penolakan di wajah Weny , senyum menggembang lebar disudut bibirnya yang menawan dengan mata berkaca-kaca. Kembali Raya menyampaikan pertanyaan.

“Apakah kalian berdua keberatan mengabulkan permintaan anak satu-satunya ?”, senyum Raya mengoda mereka berdua.

“ Sama sekali tidak anakku….”, Jawab Weny dan Suryo hampir bersamaan. Mereka bertiga berpelukan tertawa penuh kebahagiaan.

Selesai

Surakarta 2008

Cinta dalam hati perempuan tak akan pernah lekang oleh waktu dan musim tetapi hati laki-laki akan runtuh dengan cepatnya manakala melihat perempuan cantik ada dihadapannya. Dan seorang laki-laki semakin inggin memilikinya manakala melihat kecantikan diwajahnya secantik apa yang ada di dalam jiwanya meskipun telah lekang di makan waktu dan usia.

0 comments:

Posting Komentar

 
BAHASA DAN SASTRA SANG MERPATI PUTIH © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates