• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Mari belajar Drama Lewat Blog
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

KAJIAN UNSUR –UNSUR INTRINSIK DAN UNSUR-UNSUR BUDAYA JAWA PADA NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO

Kamis, 29 April 2010


KAJIAN UNSUR –UNSUR INTRINSIK DAN UNSUR-UNSUR BUDAYA JAWA PADA NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO

( Contoh Penulisan Karya Tulis Ilmiah Sastra Novel Untuk SMA )

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, di pahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menyajikan kehidupan yang tersaji dalam teks sastra sebagian besar terdiri dari kenyataan social. Dalam pengertian kehidupan menyangkut hubungan masyarakat, antar individu dengan masyarakat, antar peristiwa dan antar manusia

Pada hakikatnya seorang penyair adalah anggota masyarakat. Oleh karena itu, ia terikat oleh status sosial tertentu. Itulah sebabnya sastra dipandang sebagai intuisi sosial yang menggunakan medium(sarana) bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan produk sosial sebagai sistem tanda yang bersifat arbitrer. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial(Sapardi Djoko Damono dalam Rahmat Djoko Pradopo dkk,2001:157).

Novel Canting merupakan novel karya Arswendo Atmowiloto yang berlatar belakang kebudayaan Jawa kental dengan lingkungan kraton Surakarta. Canting adalah nama cap batik yang sukses diproduksi Ngabean. Batik merupakan Ciri khas karya budaya kota Solo namun seiring perjalanan waktu canting tidak bertahan lagi karena munculnya jenis batik printing(cap)

Novel Canting merupakan novel yang bercerita tentang kenyataan sosial dalam suatu etnis, yakni etnis Jawa. Dengan demikian, pembahasan unsur intrinsik dan ekstrinsik dengan pendekatan sosiologi merupakan pendekatan yang tepat. Hal ini dikarenakan pendekatan sosiologi menghubungkan karya sastra dengan lingkungan masyarakat yang melingkupinya.

Beberapa hal tersebut di atas merupakan alasan yang melatar belakangi penulis untuk menganalisis novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Penelitian ini berjudul ” Kajian Unsur-Unsur Intrinsik dan Unsur-Unsur Budaya Jawa Pada Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto” (Tinjauan Sosiologi Sastra).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka dapat peneliti rumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakan unsur-unsur intrinsik dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto?

2. Bagaimanakah bentuk pengungkapan unsur-unsur budaya Jawa dalam novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas dapat dideskripsikan:

1. Mengetahui bagaimana unusr-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Canting

karya Arswendo Atmowiloto.

2. Bagaimanakah bentuk pengungkapan unsur-unsur budaya Jawa dalam novel Canting karya

Arswendo Atmowiloto.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

a. Menembah wawasan pada penelitian sastra dengan pendekatan sosiologi sastra.

b. Menambah dan memperkaya wawasan dalam penelitian sastra khususnya

unsur- unsur yang membangun novel.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pembaca dalam

memahami karya sastra dan dapat mengimplementasikan dalam kehidupan

sehari-hari dengan mengambil nilai positif terhadap karya sastra.

BAB II

LANDASAN TEORI

a. Pengertian Novel

Aminuddin (2002: 66) berpendapat bahwa Karya fiksi lebih lanjut dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang-pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk karya fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh karena itulah hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman atau ketrampilan lewat telaah tertentu, dapat juga diterapkan baik dalam rangka menelaah novel maupun cerpen.

b. Jenis Novel

Jakob Sumardjo dan Saini, (1986: 29) berpendapat bahwa novel dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.

1) Novel percintaan merupakan novel yang didalamnya terdapat tokoh perempuan dan pria secara seimbang, bahkan peranan perempuan lebih dominan. Sebagai novel yang dibuat oleh pengarang termasuk jenis novel percintaan dan jenis novel ini hampir terdapat semua tema;

2) Novel petualangan melibatkan peranan perempuan lebih sedikit daripada pria. Jenis novel petualangan merupakan bacaan yang banyak diminati kaum pria karena tokoh pria sangat dominan dan melibatkan banyak masalah dunia lelaki yang tidak ada hubungannya dengan perempuan. Jenis novel ini juga terdapat unsur percintaaan, namun hanya bersifat sampiran belaka.

3) Novel fantasi bercerita merupakan novel yang menceritakan peristiwa yang tidak realistis dan tidak mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

C. Struktur Novel

Wellek dan Warren(1993: 283) mengatakan bahwa pada umumnya kritikus yang membedakan novel dengan karya sastra lain akan membedakan tiga unsur pembentuk novel yaitu: alur, penokohan, dan latar.

Adapun dalam lingkup karya fiksi, Stanton ( dalam Rachmat Djoko Pradopo dkk, 2001:56). Mendeskripsikan bahwa struktur karya sastra terdiri dari 3 unsur yakni tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul.

D. Sosiologi Sastra

Suwardi Endraswara(2006: 77). Mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu merefleksikan jamannya.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan, sehingga tidak terpancang pada tempat. Penelitian ini dilakukan di tempat-tempat tertentu yang sudah dipersiapkan yaitu perpustakaan, di rumah, dan tempat-tempat yang memiliki hotspot untuk ekses internet. Kegiatan penelitian yang dilaksanakan meliputi persiapan, pengumpulan data, penganalisisan data, verifikasi data, dan penyusunan laporan penelitian, waktu dan kegiatan penelitian bersifat fleksibel. Waktu penelitian ini dilakukan mulai bulan Pebruari sampai April 2010 tentang unsur-unsur intrinsik karya sastra novel dan unsur-unsur budaya Jawa dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

B. Bentuk dan Pendekatan

Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu dengan data yang dikumpulkan berupa kalimat-kalimat, Adapun Pendekatan penelitian yang digunakan adalh pendekatan sosiologi sastra, yaitu penelitian yang menganalisis tentang unsur-unsur intrinsik karya sastra novel dan unsur-unsur budaya Jawa dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.

C. Sumber Data

1. Dokumen

Dalam penelitian ini berupa novel Canting karya Arswendo Atmowiloto yang diterbitkan oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama( Jakarta) tahun 1997 dengan tebal 377 halaman.

2. Nara Sumber

Seseorang yang dipandang mampu dan mengetahui permasalahan yang akan dikaji oleh peneliti dan bersedia memberikan informasi kepada peneliti. Informan dalam penelitian ini adalah orang yang sudah membaca novel Canting karya Arswendo Atmowiloto yaitu siswa dan guru bahasa Indonesia.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Analisis Dokumen

Analisis ini diawali dengan pencatatan dilakukan dengan membaca secara cermat dan berulang-ulang sehingga dapat dipahami maknanya, sambil memberi tanda pada kalimat-kalimat dalam novel yang berkaitan dengan obyek kajian, meliputi unsur-unsur intrinsik dan unsur-unsur budaya dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto

b. Wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data dan informasi tentan relevansi unsur-unsur inrinsik dan unsur-unsur budaya Jawa pada informan yaitu guru SMA, pakar pendidikan dan sastra, dan siswa.

E. Uji Validitas Data

Untuk megukur validitas tentang konsep-konsep yang disampaikan pengarang melalui karya sastra keabsahannya dapat dijamin melalui teknik triangulasi. Patton (dalam Sutopo, 2002: 178) menyatakan bahwa ada empat macam teknik trianggulasi yaitu: (1) trianggulasi data; (2) triangulasi sumber; (3) triangulasi teori; dan (4) triangulasi metode. Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode dan sumber. Triangulasi metode adalah pembahasan masalah dengan mengggunakan metode yang berbeda untuk mendapatkan data yang sama, sedangkan triangulasi sumber yaitu tringulasi yang menggunakan sumber data yang berbeda untuk menggali data yang sejenis. Triangulasi inii menggunakan informan guru bahasa indonesia SMA, pakar pendidik sastra, dan siswa.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang diigunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (Interactive model of analysis) yang digunakan Mies dan Huberman, 1992: 20).

Model analisis interaktif meliputti tiga komponen penting yang selalu bergerak, yaitu: Reduksi data (data reduction), Penyajian data (data display), Penarikan kesimpulan (conclusion drawin).

G. Prosedur Penelitian

a. Menentuka novel yang akan diteliti yang mampu memberikan gambaran tentang unsur-unsur intrinsik novel dan unsur-unsur budaya Jawa.

b. Menentukan informan yang dianggap mampu dan memahami tentang sastra novel terutama mengenai unsur-unsur budaya Jawa.

c. Menentukan unsur-unsur intrinsik novel dan unsur-unsur budaya Jawa.

d. Menganalisis data-data yang diperoleh tentang unsur-unsur intrinsik novel dan unsur-unsur budaya Jawa.

e. Wawancara dengan nara sumber yang memahami tentang sastra novel.

f. Wawancara dengan narasumber yang memahami tentang unsur-unsur budaya Jawa.

g. Menyajikan data hasil analisis dengan hasil wawancara.

h. Menarik kesimpulan

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Unsur-Unsur intrinsik dalam novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto

a. Tema

Tema yang terdapat dalam novel Canting yaitu tentang sikap hidup manusia dalam menghadapi kenyataan hidup. Kenyataan hidup yang dialami Ni anak bungsu Raden Ngabehi Sastrokusumo yang berkeingginan melanjutkan usaha pembatikan yang telah mengalami kekalahan bersaing dengan produk lain. Produk lain tersebut adalah berupa batik printing. Kekalahan inilah yang membuatNi berusaha untuk bangkit agar usahanya tetap berjalan dengan cara melepas cap canting menjadi cap printing.

b. Amanat

Amanat yang terdapat dalam novel Canting adalah:

  1. Bersyukur kepada Tuhan Jika Tuhan memberi cobaan janganlah kita larut ke dalam cobaan itu

“Janganlah tenggelam dalam kesedihan. Jangan terlontar dalam kegembiraan. Jelek-jelek aku, ibumu, tak pernah tenggelam dan silau”(Canting: 285)

  1. Banyak beramal dan berbuat baik terhadap sesama untuk bekal di akhirat sebelum kita terlanjur meninggal dunia.

“ Hidup ini hanya mampir ngombe, singgah minum. Terlalu singkat dibandingkan dengan hidup sebelum dan sesudah mati ( Canting: 252).

  1. Jika kita telah berhasil hendaknya jangan menjadi sombong. Kita harus inggat asal usul kita sebelumnya sehingga jika tiba-tiba Tuhan memberi cobaan kita siap menerima dan menghadapinya.

“ Inggat selalu, kamu ini anak desa. Nusupan ini bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kota. Apalagi keraton. Kamu harus selalu inggat tanah kelahiranmu, asalmu, supaya tidak lupa. Supaya kuat menerima wahyu Tuhan Yang Maha Agung. Kamu bukan hanya membahagiakan dirimu. Orang tuamu. Lelihurmu, tetapi selurh desa Nusupan ini. Sebelah timur sungai Bengawan Solo ini akan derajatnya, “ kata Ayahnya(Canting: 77).

  1. Jika mau berusaha pasti akan mendapatkan hasilnya. Begitu juga mau berkecukupan kita harus bekerja.

“ Mereka tau tangan mana yang bekerja, itu yang layak memuluk, yang layak menyuap nasi ke mulutnya. Bukan tangan yang digenggam,” (Canting:121).

c. Alur

Alur merupakan Rangkaian cerita yang membangun sebuah cerita baik dengan alur maju maupun alur mundur. Alur cerita dalam novel meliputi: (1). Eksposisi (penyituasian); (2). Inciting moment (perkenalan); (3). Rising action; (4). Complication; (5). Climax; (6). Falling action; dan (7) denovement (penyelesaian).

Alur yang digunakan dalam novel Canting adalah alur campuran atau

gabungan (regresif-progresif) dengan perincian sebagai berikut:

  1. Eksposisi (penyituasian)

Pada tahap awal pengarang menceritakan keadaan keraton Sastrokusumo dengan seratus dua belas buruh batik yang bekerja pada pembatikan cap Canting Sastrokusumo.

  1. Inciting moment (perkenalan)

Kegiatan Pak Bei setiap malam jumat kliwon mengadakan pertemuan membicarakan bagaimana caranya menggembangkan kebudayaan Jawa yang semakin meroosot. Berlanjut dengan menampilkan alur mulai mundur saat Pak Bei ingat ke masa kecilnya yang sedang bermain-main dengan teman-temannya, seperti kutipan berikut:

“ Pak Bei teringat masa kanak-kanaknya. Ketika ia dan teman-teman sebayanya, Tumenggung Rekso, Bei Tondo, Suka mempermainkan kusir gerobak yang tertidur. Ia memutar balik gerobak itu. Arahnya jadi terbalik”( Canting: 30).

3. Rising action

Tahap pemunculan konflik terlihat pada munculnya permasalahan antara

Bu Bei dan Pak Bei. Bu Bei sedang mengandung tetapi kandungan tersebut

diragukan oleh Pak Bei bukanlah benihnya. Jika anak tersebut dewasa dan

berkecimpung di perbatikan, maka ia bukan darah Satrokusuma, seperti kutipan

berikut:

“ Baru kemudian Pak Bei berdehem kecil.” Saya tidak bisa bicara sekarang ini. Mengenai anak yang kamu kandung, saya tak tahu. Kalau nanti besarnya jadi buruh batik, ia memang anak buruh batik. Memang darah buruh yang mengalir, bukan darah Sastyrokusuman Canting”(Canting:10).

4. Complication

Cerita mengalami penanjakan konflik ketika anak ke enamnya lahir, yakni bayi yang diragukan siapa ayahnya. Bayi tersebut lahir dengan fisik yang berbeda dengan saudara-saudaranya.

“ Bayi dengan pipi tembem, tidak mempunyai rambut, dan menangis keras sekali seolah memecahkan ruangan, tendangannya sangat kuat. Bayi yang hitam, kurus, dan sangat panjang kakinya. Apakah Pak Bei akan berpikir lain setelah bayinya yang keenam? Bu Bei hanya menunggu” (Canting: 80).

5. Climax

Ni, Nk Yng tidK DI kui Pak Bei sebagai anak kandung sudah dewasa, ia mengungkapkan keinginanya untuk melanjutkan pembatikan yang sedang lesu. Hal ini menyebabkan Bu Bei masuk rumah sakit hingga meninggal dunia.

6. Falling action

Tahap penurunan konflik terjadi ketika akhirnya Pak Bei tetap mangakui Ni sbagai anak dan merestui keingginan Ni meneruskan dan mengelola batik cap canting. Dalam perjalanan batik cap canting kalahsaing dwngan batik cap printing. Ni sakit memikirkan itu, bahkan menjual rumahnya di Semarang untuk menambah modal tapi sia-sia karena batik cap canting tetap kalah saing dengan cap printing.

7. denovement (penyelesaian).

Pada tahap akhir Ni menemukan jalan keluar dar permasalahan, agar batik canting tetap berjalan ia meleburkan diri dengan perusahaan yang lebih besar, usahanya tanpa cap canting milik keluarganya tetapi menggunakan cap milik perusahaan lain.

d. Latar/ Setting

Pengarang menceritakan kehidupan lingkungan keraton yang mana di dalamnya ada suatu jarak antara golongan priyayi dan wong cilik. Golongan priyayi diwakili oleh kerabat keratomn dan golongan wong cilik diwakili oleh buruh batik dan masyarakat biasa. Biasanya dalam memilih jodoh kaum priyayi akan memilih jodoh dengan golongan priyayi juga. Jika tidak maka akan dikucilkan dari keluarga. Seperti halnya Pak Bei yang dikucilkan dari keluarga setelah menikah dengan Tuginem istrinya gadis desa anak buruh petani. Kum priyayi juga tidak diperkenankan untuk menjual langsung karena akan menurunkan derajatnya.

e. Penokohan

1) Pak Bei

Pak Bei merupakan tokoh utama yang keberadaannya sangat mempengaruhi perkembangan alur cerita. Memiliki nama lengkap Raden Ngabehi Sasrokusumo, nama kecilnya Daryono. Ia bertempat tinggal di Ndaem Ngabean Sesrokusuman.

Secara fisik Pak Bei digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berwajah tampan, hidung mancung, kulit putih dan gagah.

“ Pak Bei seorang laki-laki yang berhidung mancung, dengan kulit kuning pucat dan cara mendongak memperlihatkan dagu keras, sehabis sarapan memeriksa bagian samping.(Canting: 8).

Secara psikologis digambarkan seorang yang bijaksana dan memilikiprinsip hidup. Ia memegang pegaruh dan pangkat sehingga memegang peranan penting di pemerintahan, tetapi tidak pernah di salah gunakan kekuasaannya itu.

“ Satu perintah Pak Bei dengan mengangkat sebelah tangan, yang ditahan bisa keluar. Tapi Pak Bei tidak sembarangan. Bukti Metra dibiarkan saja (Canting: 142).

Secara sosiologis adalah seorang bangsawan yang mengabdi kepada keraton. Sebagai anak sulung ia berhak atas ndalem Ngabean. Pak bei mempunyai istri Tuginem anak seorang buruh dengan 6 anak. Sempat memiliki selir bernama karmiyem. Pak Bei pengagum Ki Ageng Suryamentaram, Pada saat meninggalnya Ki Ageng Suryamentaram mengadakan upacara tujuh hari di rumahnya.

2) Bu Bei

Bu Bei adalah Tokoh bawahan istri P Bei yang bernama asli Tuginem.

Secara fisik, Bu Bei digambarkan sebagai eorang wanita yang gesit, beralis tebal

dan berkulit kuning.

“ ...Matamu bukan mata anak desa. Alismu tebal sekali. Kulitmu kuning. Tulang-tulangmu halus. Hanya namamu saja Tuginem... (Canting: 6).

Secara psikolog, Bu Bei digambarkan sorang yang sangat patuh (manut) dan setia pada suami. Seperti pada umumnya wanita Jawa. Segala yang dibutuhkan dan diperlukan suami, disediakan sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya.

Secara psiklogis, Bu Bei adalah golongan rakyat kecil. Ia anak buruh batik di ndalem. Rumahnya di Nusupan. Bu Bei sebenarnya adalah keturunan priyayi yang menjadi saudagar dari Demak.

Kita ini sesungguhnya anak cucu priyayi. Kita terdampar dan berada di sini, karena kita kita dulunya juga priyayi yang menjadi saudagar dari Demak. Kita anak cucu di sana. Saya selalu menerima dongengan itu”(Canting: 77)

3. Ni

Ni adalah tokoh bawahan yang berdiri sebagi tokoh bawahan utama. Anak ke enam . Ni memiliki nama lengkap Subandi Dewanti Putri Sesrokusumo.

Secara fisik Ni sejak kecil memang berbeda dengan saudara-saudarany. Bahkan Pak Bei pun tidak menyiapkan nama untuknya.

“ Kebahagiaan itu mencapai puncaknya ketika akhirnya Pak Beu mengendong anaknya yang hitam dan pipinya tembem. Lebih dari itu semua, pada lima hari usia si kecil, Pak Bei mendemonstrasikan menggendong ke tengah pertemuan yang biasa diadakan di rumahnya...(Canting: 8).

Secara psikologis, Ni digambarkan seorang gadis yang sangat memperhatikan keprihatinan para buruh pembatikan. Kedekatan Ni dengan buruh menimbulkan rasa ketidak setujuan mana kala salah satu buruh diperhentikan karena mengindap penyakit mutaber.

“ Itu saat pertama Ni menjadi Gusar. Ni berlari masuk ke dalam rumah, menemui ibunya. “ Ibu jahat! Teriak Ni dengan suara serak. “Aku yang menyuruh, “ kata Pak Bei yang menyambut Ni memandang dengan sorot mata sengit. “Aku yang menyuruh mbok Tuwuh pergi dari rumah ini,” Ni gondok. (Canting: 201).

B. Unsur-Unsur Budaya Jawa dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto

a. Adanya golongan priyayi dan golongan wong cilik

Strata golongan masyarakat di Jawa terbagi dua yaitu golongan priyayi yang terdapat pada lingkungan keraton yang bernama Ndalem Ngabean Sestrokusumo dan golongan wong cilik terdapat pada lingkungan masyarakat pada umumnya yang diwakili oleh para buruh.

b. Adanya tata cara berbau tahayul/mistik

Agama islam di Jawa dibagi dua yaitu Jawa kejawen atau abangan erai dengan keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung mistik. Kedua agama islam santri yaitu islam di Jawa yang dekat dengan aturan-aturan agamasesuai dengan alquran. Dalam novel Canting terdapat golongan Jawa kejawen yang percaya adanya kekuatan mistik dan percaya pada dukun.

“ Pak Bei akhirnya menemui dukun yang terkenal itu. Bukan untuk mengurus Minah. Untuk menguruas dirinya sendiri. Untuk menanyakan bibit siapa yang ada dalam kandungan istrinya. Pak Bei memberikan uang, ayam putih, dan segala perlengkapan, termasuk tanggal lahirnya, tanggal lahir bu bei, asal usul, dan segala yang ditanyakannya,”(Canting:65).

C. Gotong Royong dalam Kerukunan dalam Masyarakat

Kerukunan terjadi memiliki tujuan agar di dalam masyarakat tercipta lingkungan masyarakat yang harmonis. Pada novel Canting kerukunan ditemukan pada saat mengalami banjir melanda kota Solo. Para buruh mengagumi sikap Pak Bei yang beusaha keras menggerakan bekerja keras gotong royong dalam mengatasi bahaya banjir.

D. Sopan Santun Berbahasa Sebagai Sikap Hormat Kepada yang Lebih Tua

Sikap seseorang dapat diliha dari cara berbicara. Dalam hal ini bahasa memainkan peran yang sangat penting karena menandakan kesadaran akan kedudukan sosial dan menunjukan sikap tata krama.

“ Urutan kastanya masih si atasnya. Sehingga Darmasto yang Ngabean ini berbahasa Jawa halus, karma inggil pada istrinya sendiri. Mereka berdua adalah pasangan yang dibanggakan orang tua...(Canting: 117).

E. Selamatan pada Peristiwa Penting di Masyarakat.

Selamatan yang digambarkan dalam novel Canting adalah selamatan pada upacara kematian, kelahiran, kehamilan, dan selamatan yang bersifat khusus seperti kelulusan.

“Untuk menangkalnya, dibukakan genting, agar nanti pada selamatan empat puluh hari, sukmanya bisa lepas ke langit tingkat tujuh melalui lubang tersebut(Canting: 250).

F. Pasrah dalam Menghadapi Perubahan Zaman

Cara menghadapi permasalahan tentang perubahan dan pergeseran nilai yang mengalir ke dalam kenyataan, tanpa protes karena menyadari nilainya yang lebih bermakna.

“Budaya yang kalah tak lebar langkahnya. Budaya yang kalah tak banyak berubah dengan menjerit atau menguji keagungannya. Malah akan lemah pada saat membanggakan(Canting: 374 ).

BAB V

PEMBAHASAN

Novel Canting sebagai novel yang mengungkapkan kehidupan sosial tetap mengemukakan tentang kisah percintaan antara Pak Bei dan Bu Bei, Ni dan kekasihnya. Novel percintaan merupakan novel yang didalamnya terdapat tokoh perempuan dan pria secara seimbang, bahkan peranan perempuan lebih dominan. Sebagai novel yang dibuat oleh pengarang novel Canting termasuk jenis novel percintaan dengan latar belakang sosial budaya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Jakob Sumardjo dan Saini tentang jenis-jenis novel.

Stanton ( dalam Rachmat Djoko Pradopo dkk, 2001:56) Mendeskripsikan bahwa struktur karya sastra terdiri dari 3 unsur yakni tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol imaji. Dalam Novel Canting unrur-unsur yang membangun adalah Tema yang terdapat dalam novel Canting yaitu tentang sikap hidup manusia dalam menghadapi kenyataan hidup. Amanat yang terdapat dalam novel Canting adalah adanya rasa syukur kepada Tuhan Jika tuhan memberi cobaan janganlah kita larut ke dalam cobaan, banyak beramal dan berbuat baik terhadap sesama untuk bekal di akhirat sebelum kita terlanjur meninggal dunia, Kita harus inggat asal usul kita sebelumnya sehingga jika tiba-tiba Tuhan memberi cobaan kita siap menerima dan menghadapi, sikap berusaha pasti akan mendapatkan hasilnya. Begitu juga mau berkecukupan kita harus bekerja.

Alur merupakan Rangkaian cerita yang membangun sebuah cerita baik dengan alur maju maupun alur mundur. Novel Canting memiliki rangkaian peristiwa yang meliputi: (1). Eksposisi (penyituasian); (2). Inciting moment (perkenalan); (3). Rising action; (4). Complication; (5). Climax; (6). Falling action; dan (7) denovement (penyelesaian). Hal itu sesuai dengan pendapat Jakob Sumardjo dan Saini.

Dalam novel Canting menyampaikan tokoh Pak Bei sebagai tokoh utama, Bu Bei sebagai tokoh bawahan, dan Ni sebagai tokoh bawahan utama yang tampil secara rutin pada bagian pertengahan hingga akhir penceritaan. Tokoh tokoh tersebut berhasil menyampaikan ide cerita. Hal itu sesuai dengan fungsi dan peran tokoh dalam cerita bukan hanya sekedar memainkan peran tetapi harus mampu menyampaikan ide cerita, tema yang terangkai dalam satu jalinan cerita. Jokop Sumarjo (dalam Zainuddin Fananie, 2000: 86)

Sosiologi sastra sebagai cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu mampu merefleksikan jamannya. Dari peristiwa yang ada maka pengarang menyampaikan gambaran kehidupan masyarakat Jawa khususnya Solo yang erat dengan budaya keraton. Di masyarakat telah terbagi dua lapis masyarakat yaitu masyarakat priyayi dan masyarakat wong cilik. Sebagaimana yang disampaikan Koencoroningrat (1984: 289) bahwa yang menduduki jabatan bendoro adalah para pegawai keraton, seniman keraton, ahli kesusasteraan, penari, pencipta tari, dan pamong praja.

Etika kesopanan orang Jawa terwujud dalam istilah unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basa krama, suba sita, etika, dan sopan santun. Orang Jawa cenderung berbahasa secara halus bila berhadapan dengan orang yang dihormati. Anak-anak memberikan ucapan ulang tahun kepada Pak Bei dengan cara laku Dhodhok melakukan sembah di lutut ayahnya. Semakin tinggi derajat seseorang akan semakin dihormati dan orang yang ada di bawahnya mengambil sikap tunduk dan berlutut.

Di masyarakat Jawa setiap peristiwa atau kejadian selalu diperingati dengan upacara ritual yang banyak bercampur dengan takhayul dan mistik. Upacara perkawinan, nujuh bulan, khitanan dan kematian. Upacara ritual tersebut biasa di sebut dengan selamatan. Koncoro Ningrat mengatakan bahwa terdapat beberapa rangkaian upacara yang diadaan sepanjang lingkaran hidup individu Jawa diantaranya upacara pemakaman dan upacara untuk dan upaara untuk memperingati hari kematian seseorang, perayaan tahunan serta upacara selamatan khusus seperti bersih dusun ngruwat, janji kaul, dan upacara ganti nama. Dalam novel Canting terdapat upacara kelahiran seperti mitoni, tingkepsn,brokohsn, procotsn, dsn tedsk sinten. Upacara kematian meliputi pendhak pisan, pendhak pindho, dan selamatan kelulusan.

BAB VI
SIMPULAN

Simpulan yang bisa diambil dari penelitian novel Canting karya Arswendo Atmowiloto adalah:

  1. Unsur-unsur intrinsik novel meliputi: (a) tema tentang sikap seseorang dalam menghadapi kenyataan perubahan zaman; (b) plot dengan menggunakan alur campuran (progresif_regresif); (c) latar/setting sekitar Solo seperti Keraton Ndalem Sastrokusuman, Pasar Klewer, Jurug Taman Ronggowarsito, Gandekan; (d) Amanatnya adalah untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan dibutuhkan pengorbanan dan usaha yang keras, sehingga akan diberikan jalan dan hasil usaha dari pengorbanannya.
  2. Unsur-unsur budaya yang terdapat pada novel Canting meliputi: (a) Adanya golongan priyayi dan golongan wong cilik: (b) Adanya tata cara berbau tahayul/mistik; (c) Gotong Royong dalam Kerukunan dalam Masyarakat; (d) Sopan Santun Berbahasa Sebagai Sikap Hormat Kepada yang Lebih Tua; (e) Selamatan pada Peristiwa Penting di Masyarakat; (f) Pasrah dalam Menghadapi Perubahan Zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Jakop Sumardjo dan Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: PT Gramedia.

Rachmat Djoko Pradopo dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanandita. Graha Widya.

Suwardi Endraswara. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta. Pustaka Widyatama.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1993. Teori Kesusasteraan Sastra. (terjemahan Melani Budiana). Jakarta: PT Gramedia.

2 comments:

bf_disco.blogspot.com mengatakan...

sangat bagus. numpang ngopy ya buat tugas kajian sastra saya. terima kasih

ZONA PENDIDIKAN DAN BAHASA INDONESIA mengatakan...

terimakasih infonya bu,silahkan mampir http://trisaparudin.blogspot.com

Posting Komentar

 
BAHASA DAN SASTRA SANG MERPATI PUTIH © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates