• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Mari belajar Drama Lewat Blog
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

SEMANGAT YANG MATI

Jumat, 13 Agustus 2010

SEMANGAT YANG MATI

Esti Suryani

Beberapa pasien berderet di kursi kayu, menanti giliran panggilan dari perawat di depan ruang dokter penyakit dalam. Para pasien diantar oleh sanak keluarganya ada yang membantu mendorong kursi roda, mengandeng tangannya atau hanya sekedar membawakan jaket penghangat badan saudaranya yang sakit.

Sukardi, laki-laki berusia 45 tahun, pegawai negri sipil disebuah instansi pemerintahan, menunggu panggilan perawat jaga dengan gelisah. Sebentar-sebentar melihat jam di dinding depannya yang terus berputar ke arah pukul 17 .00 wib. Ia mendekati perawat menanyakan seberapa banyak giliran antrian periksa untuknya. Sambil memegangi kepala sebelah kiri dan perutnya yang terasa sembab.

Tiba giliran Sukardi diperiksa, dokter penyakit dalam memeriksa seluruh tubuh Sukardi dengan alat pendeteksi di atas tepat tidur. Sesekali menanyakan keluhan-keluhan yang dirasakan Sukardi. Sakit di kepala sebelah kiri, pergelangan kaki tangan, tumit sakit, susah bernafas, dan perut yang terasakan sembab setiap hari. Hasil pemeriksaan keluar, berupa lembaran kertas melalui printer dengan cepat. Sesaat Sukardi termanggu penasaran menyaksikan wajah dokter tanpa ekspresi sedikitpun ketika membacanya.

”Pak Sukardi sekarang tinggal dimana dengan siapa saja?” tanya dokter meneliti.

”Saya tinggal sebatangkara di sebuah perumahan yang sangat sederhana sekali” jawab Sukardi sambil memperhatikan kertas hasil pemeriksaan di tangan dokter.

”Apa yang Pak Sukardi rasakan setelah saya periksa, kepala sebelah kiri masih sakit, pergelangan kaki tangan pegal, tumit sakit, dada sakit, dan perut masih terasa sembab? ” dokter bertanya penuh selidik.

”Saat ini tidak terasa sakit, tapi pasti akan datang lagi rasa sakit itu, kalau obat sudah habis”. Dokter memandang wajah Sukardi yang kelihatan segar bugar tanpa kelihatan sakit sedikitpun, hanya sorot matanya yang kusam.

”Pak Sukardi.... berdasarkan hasil pemeriksaan saya, bapak sebenarnya tidak mempunyai penyakit sedikitpun. Obat yang saya berikan sebenarnya hanyalah pil vitamin untuk menjaga stamina bapak” Mata dokter menatap mata kusam Sukardi dengan tajam.

”Saya sudah berobat pada sepuluh dokter, ini yang terakhir, jawaban selalu sama, padahal badan saya benar-benar terasa sakit”, Kata Sukardi mengeluarkan isi hatinya.

”Pak Sukardi harus mempercayai saya, kalau bapak sebenarnya tidak punya penyakit apapun, Pak Sukardi sehat !” jawab Dokter dengan tegasnya menyakinkan pada Sukardi.

”Coba Pak Dokter sekali lagi mengecek seluruh badan saya barangkali tadi kurang lengkap memeriksanya. Saya benar-benar ingin sembuh dari penyakit saya ini. Terutama bagian tumit, kalau bangun pagi hari selalu merasakan sakit yang teramat sangat”. Kembali Sukardi mengeluhkan rasa sakit yang dirasakannya.

Sudah jalan 1 tahun ini, Sukardi selalu merasakan rasa sakit di badannya, selalu muncul setiap waktu tanpa diduka dengan berpindah-pindah tempat yang dirasakannya. Keadaan seperti itu akan terus berlangsung ketika sudah kembali dari kantor tempat ia kerja. Sejak perang dingin dalam rumah tangganya berlangsung ia mulai merasa tua, sepi, dan sebatangkara. Sukardi memilih tinggal sendiri di perumahan yang kecil jauh dari istri dan anak-anaknya. Dokter kembali menatap mata Sukardi tetapi tidak lagi dengan tatapan yang tajam tetapi tatapan mata seorang sahabat yang mengginginkan lawan bicaranya mau mengungkapkan isi hatinya.

”Bukannya sekarang tidak terasa sakit Pak Sukardi?”, tanya dokter dengan lembut.

”Memang tidak, sekarang yang terasa sakit pada bagian kepala sebelah kiri dan pergelangan tangan saya terasa ngilu sekali. Kalau malam hari sering sekali saya terbangun hanya karena batuk-batuk kemudian nafas terasa sesak sekali” . Dokter mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba mengerti apa yang diderita pasiennya itu.

”Ini ada vitamin dan obat tidur, satelah makan malam silahkan diminum, mudah-mudahan akan segera sembuh!”, perintah dokter pada Sukardi agar segera keluar dari ruang periksanya karena melihat masih banyak pasien yang menunggu pertolongannya sejak sore tadi. Tetapi Sukardi masih inggin berbicara lagi pada dokternya.

”Dokter-dokter sebelumnya memberikan obat yang sama pada saya. Memang sembuh, Tetapi setelah obat habis dan saya tidak meminumnya lagi saya merasakan sakit kembali, penyakit saya kambuh lagi Pak Dokter”, kata Sukardi sambil mengeryitkan dahinya.

”Ya... kalau bapak merasakan penyakitnya kambuh lagi segeralah kembali ke sini, dengan senang hati saya akan memberikan pertolongan”,jawab dokter menenangkan pasiennya.

”Dengan obat yang sama?”, tanya Sukardi mendesak.

”Kalau penyakitnya sama tentu obatnya akan sama juga. Silahkan bapak boleh pulang kemudian istirahat, semoga lekas sembuh” Dokter mempersilahkan Sukardi keluar dari ruangannya.

”Pak Dokter...saya khawatir penyakit saya akan kambuh lagi, saya inggin opname saja, dirumah saya sendiri, tidak ada yang mengurus” , kembali Sukardi mengkhawatirkan dirinya sendiri.

”Baiklah kalau Pak Sukardi menghendaki opname akan saya buatkan surat rujukannya ke rumah sakit pusat saja”. Dokter mengambil kertas dan menulis surat rujukan yang ditujukan pada Rumah Sakit Pusat.

Pak Sukardi memilih kamar perawatan kelas Vip, ia berbaring di atas dipan dengan sprei putih bersih. Suasana terasa sepi meskipun dinyalakannya TV keras-keras. Ia mulai mengginginkan seorang teman untuk menemaninya dan berbicara. Perawat datang mengecek tensi darahnya yang rendah.

”Tensi darah bapak rendah, sebaiknya malam ini bapak segera istirahat total dan bisa tidur nyenyak biar besok pagi tensi darah bisa normal kembali”, kata perawat menasehati Pak Sukardi.

”Saya... tidak bisa tidur tanpa ada teman yang bisa saya ajak bicara malam ini, saya berharap anda bisa menolong saya untuk memangil teman saya”, kata Sukardi tanpa semangat.

”Dengan senang hati saya akan membantu. Bapak bisa menulis nomer telponnya di kertas ini, agar saya bisa segera menghubunginya, sekalian pesan yang harus saya sampaikan pada teman bapak”, perawat menyerahkan secarik kertas dan pinsil di meja samping tempat tidur Sukardi.

”Suruh segera kemari, tapi jangan sampai orang lain tahu tempat ini termasuk istri dan anak-anakku”, tegas Sukardi.

”Baik pak ... saya permisi dulu, nanti pukul 24.00 wib saya akan datang lagi memeriksa tekanan darah bapak sekaligus mengecek apakah bapak benar-benar istirahat atau tidak”, sambil tersenyum perawat menutup pintu kamar.

Tidak seberapa lama dari satu jam, Robby teman dekatnya datang dengan wajah cemas mengkhawatirkan keadaan Sukardi yang berbaring di tempat tidur Rumah Sakit.

”Kamu sakit apa Sukardi… kok tiba-tiba sekali, bukannya tadi kita sempat bermain catur dan kau bisa tertawa terbahak-bahak. Kenapa juga harus kamu rahasiakan, pasti teman-teman inggin menengokmu”, tanya Robby memberondong pertanyaan membuat mulut Sukardi sulit menjawabnya.

”Aku.... aku tidak membutuhkan teman banyak, aku ingin sendirian saja tak perlu berkomunikasi dengan siapapun, aku hanya membutuhkan satu teman saja sudah cukup, sepertimu”, jawab Sukardi dengan mata menerawang ke atap-atap kamar.

”Lho... kenapa sikapmu seperti itu?”, tanya Robby tidak percaya.

”Saya tidak suka melihat orang-orang yang pura-pura memiliki rasa kemanusiaan dan kemuliaan hati, nyatanya setelah sepulang dari menjengguk justru membicarakan keburukan-keburukan si sakit yang baru ditenggoknya”, jawab Sukardi memegang dadanya yang mulai batuk-batuk kecil.

”Bagaimana dengan anak dan istrimu....mereka juga tidak kamu kasih tahu keadaanmu ini?”, kembali Robby bertanya.

”Mereka tidak tahu aku di sini, jangan sampai mereka tahu,” jawab Sukardi disela-sela batuknya.

”Kenapa bisa begitu, bukannya kau dan istrimu baik-baik saja, tak pernah terdengar dari mulutmu ada perselisihan” Robby terus menyelidik dengan pertanyaan.

”Sudah dua bulan ini kami berpisah, Dia dan anak-anak tinggal di rumah lama yang besar dan saya tinggal sendiri di rumah kecil di perumahan. Diantara kami tidak ada yang mau mengalah. Kami sama-sama keras kepala. Sebelumnya anak gadisku bercerita pada istriku kalau aku selingkuh, dia menuduhku setelah beberapa kali membuka-buka sms yang masuk di Hp dan FBku. Padahal aku hanya bersahabat saja tidak lebih dari itu. Tapi aku tidak dapat menyampaikan alasan karena aku sudah terlanjur emosi pada anakku, terlanjur malu pada istri dan Asih teman perempuanku itu. Aku tidak bisa mengendalikan keadaan. Jadi biarkan saja mereka tidak tahu kalau aku sakit, biarlah aku bisa urus diriku sendiiri. Kalau istriku sakit aku juga tidak akan menenggoknya. Beberapa saat suasana hening, Robby bisa mengerti perasaan Sukardi yang kecewa dengan keadaan.

”Jadi Pak Sukardi bertengkar dengan istri, kenapa tidak bapak jelaskan saja alasan bapak dekat dengan seorang perempuan, biar semua masalah bisa terselesaikan!”. Kata Robby menyesalkan sikap temannya.

”Ya.... Aku malas menjelaskan alasanku karena anak dan istriku sudah memberikan fonis seperti itu.

”Kenapa tidak menceritakan padaku, setidaknya aku bisa menjelaskan pada istri dan anakmu!”. Pak Sukardi tidak segera menjawab. Ia duduk di balai-balai dipan tempat tidur, mengusap wajahnya dengan tangannya yang basah oleh keringat dingin.

”Aku malu mengatakan padamu Robby... tidak ada seorangpun yang tahu tentang peristiwa ini, anakku yang keras kepala itu terlalu ikut campur urusan pribadiku, ia melarangku untuk menceritakan pada orang lain, dia mengecamku sebagai peristiwa yang memalukan. Anda tahu kami sekeluarga sangat bahagia, tapi setelah 16 belas tahun menikah, tiba-tiba semuanya berubah, Kami tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, masing-masing menganggap dirinya paling benar. Pada awalnya kami memang saling membutuhkan, kemudian menjadi saling membenci secara terpendam.

”Barangkali memang sifat manusia yang suatu saat bisa saja berubah-ubah karena sesuatu”, komentar Robby menjernihkan perasaan Sukardi yang keruh. Sukardi mengangkat kepalanya , menatap sesaat pada mata Robby.

”Robby... kalau kamu mau menikah nanti jangan terlalu percaya dengan cintamu sendiri. Lebih baik menikah dengan orang yang mencintaimu jangan menikah dengan orang yang kamu cintai. Dulu sebelum menikah aku sangat mencintai istriku, dia sudah dijodohkan dengan orang terkaya di kampungku, aku melepasnya tapi tetap aku pegang ekornya jangan sampai terlepas. Segalanya akan dapat berubah dengan cepat. Aku berubah jadi orang yang sangat tolol, lemah, dan serba salah. Aku bertekuk lutut dihadapan anak istriku, Aku jadi orang yang sangat tolol karena cintaku pada istriku”. Kembali Sukardi menutup wajanya dengan kedua telapak tangannya.

”Bagaimana dengan perempuan yang dituduhkan anakkmu sebagai perempuan selingkuhanmu?”, tanya Robby lagi.

”Dia.... dia bernama Asih, setelah ada penyerangan dari pihak anak dan istriku, dia berubah, dia punya perasaan yang sangat halus, pasti dia kecewa sekali”, Sukardi memegang dadanya perlahan.

”Maksudmu...?” Robby mengejar penjelasan Sukardi tentang perempuan itu.

”Perbuatan yang sangat memalukan dan sembrono oleh anak gadisku dan istriku memarahi, mengancam, dan menghujat sahabatku Asih, sangat wajar kalau membuatnya jadi tersinggung”, jawab Sukardi dengan dahi dikerutkan.

”Bagaimana reaksi teman perempuan sahabatmu itu?”,

”Ya... ia tidak terima... gantian dia memarahiku, memaki-maki aku dan selalu memojokkan ketidakberdayaanku.

”Sikapmu bagaimana terhadap perempuan itu?”, Robby kembali bertanya sambil memegang pundak Sukardi yang kelihatan bergetar.

”Masa bodoh dengan perempuan itu, aku merasakan pusing yang teramat sangat. Aku tidak bisa menjelaskan kepada mereka bertiga, aku tidak bisa meredakan kemarahan mereka bertiga, aku tidak sangup menjawab pertanyaan-pertanyaan mareka yang sangat memojokkan posisikuku”, Sukardi menatap mata Robby dengan kemarahan. Robby tak berani menatap kembali sorot matanya.

”Apakah kamu meminta maaf kepada mereka bertiga?”, desak Robby mengejar kembali kelanjutan cerita Sukardi.

”Aku tidak akan meminta maaf, aku tidak bersalah, mereka yang cari-cari masalah. Mereka sendiri yang harus menyelesaikannya. Tapi .... Asih tadi siang menelpoku mengatakan tidak akan memberi maaf padaku untuk selamanya”, Sukardi memegang kembali dadanya yang mulai sesak, merebahkan badannya ke atas dipan.

”Kar... pernikahanmu sekarang diambang kehancuran, Persahabatnmu sekarang juga hancur. Mana yang kau pilih, pernikahan atau persahabatan?”, dengan cepat karyadi menjawab pertanyaan Robby.

”Tentu saja aku pilih istriku dan anakku, Asih... bukan apa-apa buatku. Aku tahu buat dia pasti sakit dan berat merasakan harga dirinya telah diinjak-injak istri dan anakku, pasti dia menangis setelah penyerangan itu, tapi lama-lama juga sembuh sakitnya. Aku menekannya untuk melupakan aku. Aku tidak sanggup berada dalam jurang yang memenjarakan kebebasanku. Kaulah orang pertama yang mendengar ceritaku”, Robby menganggung-anggungkan kepalanya akan kepercayaan Sukardi padanya.

”Aku berharap ceritamu ini bisa mengurangi beban batinmu kar...”, kata Robby.

”Robby..... rasanya aku tidak merasakan batuk lagi, dadaku, kepalaku tidak terasa sakit lagi. Tungkak kakiku akan terasa sakit bila pagi hari, jadi baru esok pagi aku bisa memastikan kesembuhan kakiku”, Sukardi berkata dengan wajah berbinar-binar.

”Selamat... kau akan segera sembuh, aku pulang dulu, besok pagi benar aku akan mengunjungimu”, janji Robby pada Sukardi.

Hari masih pagi benar, Robby sudah sampai di kamar bangsal anggrek, dimana Sukardi dirawat. Wajah Sukardi cerah berseri-seri, matanya bercahaya berkaca-kaca. Mereka berjabat tangan, tertawa-tawa kemudian saling memeluk badan.

”Bagaimana perasaanmu dan rasa sakitmu sekarang? ”, Robby bertanya dengan tetap memeluk badan Sukardi.

”Semalam aku telah melaksanakan sholat malam, aku berkeingginan untuk meminta maaf pada mereka bertiga, istriku, anak ku, dan Asih. Mungkin aku memang salah telah menghadirkan sosok Asih dalam kehidupanku tanpa memberitahu pada anak istriku. Aku juga menyesal telah membawa Asih dalam kemelut rumah tanggaku, dan kemudian setelah penyerangan dari anak gadisku, aku menekannya untuk pergi jauh dari kehidupanku tanpa sedikitpun perlindungan dariku. kini aku benar-benar telah membuangnya,” Sukardi duduk dengan kepala menunduk.

”Bagaimana dengan sakit tungkak kakimu Kar...!”, Robby memandangi kaki Sukardi yang tengah mencoba berjalan pelan.

”Kini rasa sakitku sudah hilang semua... aku tidak percaya, semua sakitku tidak terasa lagi”, Sukardi tertawa kegirangan menyaksikan keajaiban terjadi pada dirinya.

”Masak... aku tidak percaya secepat itu kau sehat kembali, Bagaimana dengan ijin cutimu?”, Robby menginggatkan rencana Sukardi untuk cuti 2 minggu.

”Aku tetap mengingginkan ijin itu. Tiga hari saja... ya...tiga hari cukup untuk meminta maaf pada tiga orang perempuan”, tegas Sukardi dengan menunjukan tiga jari di depan wajah Robby.

”Gila... ternyata dalam waktu satu malam kau sudah berubah dengan cepat! ”, Robby keherannan menyaksikan perubahan pada diri temannya.

’Ya... benar-benar gila... baru saja semalem aku menceritakan semua padamu mendadak pagi ini semua sakitku hilang, aku sekarang punya semangat baru lagi”, dengan senyum mengembang di bibir Sunardi memicu semangatnya sendiri.

”Jadi apa penyebab sakitmu?”, dengan cepat Robby membantu Sukardi untuk menyadari kesalahan-kesalahan yang sudah ia lakukan.

”Aku terlalu mendendam perasaan dan menahan-nahan permasalahan tanpa aku selesaikan. Aku terlalu egois, aku terlalu menekan dan mengorbankan orang lain yang sedang merasakan penderitaan, dan aku terlalu tolol untuk sebuah pemecahan permasalahan cinta”. Kali ini Sukardi berbicara tanpa menahan rasa sakit di badannya, ia berbicara dengan wajah kemerah-merahan penuh pengharapan ke masa depan yang lebih tertata.

”Selamat.... sekali lagi, kau telah mampu menyusun penyelesaian permasalahan dan menata hatimu sendiri. Karena setiap hati, jiwa, dan akhlaq yang sakit pasti tubuh akan berlanjut menjadi sakit, tetapi kalau sudah menemukan jalan kebaikan sakit akan hilang dengan sendirinya”, dengan kebijaksanaan yang di punyai Robby mendukung pemikiran Sukardi teman dekatnya di kantor.

”Sungguh suatu kebahagiaan apabila kita sudah berada di ujung perjalanan yang baik. Robby.... kenapa aku tiba-tiba jadi takut dengan kematian!”, Sukardi berkata dengan nada bergetar.

”Kenapa...?”. Robby setengah tidak memperhatikan Sukardi yang sudah kelihatan mulai stabil kesehatannya.

”Aku takut ajal menjemptku sebelum aku meminta maaf pada mereka”, ungkap Sukardi.

” Kalau begitu.... cepatlah lakukan sekarang juga untuk meminta maaf padanya!”, desak Robby.

Sukardi laki-laki dengan rahang dan jidat menonjol ke depan menandakan seorang laki-laki dengan karakter keras, tidak mau mengalah, dan kecendarungan mempertahankan miliknya tanpa sungkan mengorbankan orang lain. Ia tidak segara menyikapi masukan dari Robby temannya. Dia lebih memilih pendapatnya pribadi. Belum sempat Sukardi berkata ia merasakan seluruh badannya mulai dingin dan keringat dingin membanjiri tubuhnya. Perawat segera membawa Sukardi ke ruang USG untuk pemeriksaan dan perawatan secara intensif. Dari hasil pemeriksaan dinyatakan Sunardi mengalami pendarahan pada otak kirinya, Robby mengurus segala sesuatu untuk persiapan operasi tanpa kehadiran istri, anak, dan Asih. Robby tidak bisa memberi masukan apa-apalagi setelah semua gorden penutup ditarik melindungi kerja dokter dan perawat dari pandangan matanya. Satu jam kemudian pemeriksaan selesai, dokter terlihat ke luar menemui Robby.

”Saya tidak bisa menolong Pak Sukardi yang lebih memilih untuk kembali pada sang Pencipta”, dokter menjelaskan dengan nada menyesal.

”Adakah pesan darinya...” Tanya Robby dengan mata basah.

”Ada... Sebuah perintaan maaf untuk orang-orang yang ia cintai”, kata dokter sambil menepuk-nepuk pundak Robby.

TAMAT

IN MEMORIAL

0 comments:

Posting Komentar

 
BAHASA DAN SASTRA SANG MERPATI PUTIH © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates