• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Mari belajar Drama Lewat Blog
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

REMBULAN DALAM PELUKAN MERAPI

Jumat, 12 November 2010 Labels:
PELUKAN MERAPI
Esti Suryani

Menyendiri dalam sepi di lereng gunung merapi baginya adalah sebuah ujud kerinduan yang tak mampu terungkap. Angin pagi yang berhembus tenang menyusup melalui sudut pori-porinya yang tersandar di bale-bale rumahnya. Lima tahun yang lalu masih terasa di pundak Laksono seorang gadis pujaannya yang sangat ia sayangi dan ia manjakan bergelayut manja menguatkan kebahagiaan di relung hati laksono. Kini Ia hanya mampu menunggu kabar dari langit yang telah berjanji di ujung tahun ini akan datang menemui. Perasaan rindu di hati Laksono serasa begitu memagar raga dan jiwa yang semakin fana. Ingatannya menerawang ke masa lalu ketika ia dan Dhani dipertemukan dalam ikatan asmara yang serasa takkan terpisahkan oleh lekangnya waktu yang sangat cepat bergulir.
” Sedhani... aku sangat menyayangimu tak ada satu perempuanpun yang mampu singgah di hatiku kecuali kau Dhani...”, bisik Laksono ditelingga Sedhani yang duduk manja disebelahnya.
” Laksono... kau laki-laki kuat, tegar, kokoh, dan tampan... tiada seorang laki-lakipun di dunia ini yang mampu menandingi kelebihanmu, kau harus tahu bahwa aku sangat menyayangimu lebih dari yang kamu ungkapkan tadi, Laksono... rasa sayangku padamu melebihi rasa sayangmu padaku”, jawab Dhani tulus.
” Cintakah kau padaku Sedhani...?”, tanya Laksono.
” Sayang ....aku sayang padamu Laksono”,ungkap Dhani meyakinkan.
” Kau harus tahu Sedhani ... bahwa cintaku sangat tulus dan mendalam!”, Laksono memegang jari jemari Dhani dengan lembut.
Pada tahun ketiga hubungan Dhani dan Laksono mulai ada kerenggangan. Sedhani sibuk dengan kuliahnya di Solo dan Laksono sibuk dengan usahanya di magelang kota kelahirannya. Pertemuan-pertemuan sudah mulai berkurang dan komunikasipun semakin jarang terjadi.
”Sesibuk itukah kuliahmu hingga lupa bahwa aku sangat merindukanmu?”, Laksono menulis sms di hpnya untuk Dhani.
”Laksono... aku mohon pengertianmu biarkan aku konsentrasi dengan kuliahku sampai selesai, aku janji tidak akan ada laki-laki lain selain dirimu!”, Jelas laksono.
”Itu yang aku khawatirkan Dhani... ditempat kamu kuliah pasti banyak laki-laki yang lebih dari aku. Aku hanya orang desa yang hanya bisa mencintaimu tanpa bisa memberimu apa-apa”, Laksono menjawab sambil membelokkan pandangan matanya yang kecewa ke arah lain.
”Laksono... aku masih tetap bergelayut di akar-akar kokohmu”, ungkap Dhani.
”Akar hitamkah yang kau maksud...?”, tanya Laksono mengoda.
”Bukan... tapi Akar yang kuat dan kokoh yang mampu bertahan dan melindungiku disetiap saat aku membutuhkannya”, jawab Dhani sambil memandang sorot mata Laksono yang sesaat.
”Akar yang ada dalam hatimu yang mampu mengurai jalannya jiwa”, jawab Dhani lagi.
”Yang mampu membuat hidup serasa abadi selamanya?”, tambah Laksono sambil memeluk badan Dhani didekatnya di samping tempat duduknya.
Rembulan dalam pelukan malam hingga mampu membakar asmara dua sukma, dengan pelukan hati nan abadi. Hingga mereka lupa menghitung usia hari yang semakin berjalan rapi. Hati adalah milik jiwa, Jiwa adalah perjalanan hati. Kaki langit menawarkan bulu perindu hingga siap untuk terbang di sela-sela awan. Laksono duduk kembali sambil menarik nafas panjang mengakui kebesaran cinta yang diberikan dari Dhani kekasihnya untuknya.
Hari itu Laksono menemukan sosok Dhani bukanlah sosok yang pernah ia kenal. Sedhani juga menemukan Laksono dalam sosok yang berbeda. Seperti langit dan bumi, seperti minyak dan air yang tak mampu membuat dirinya menyatu dalam kata dan ungkapan.
"Sedhani ... kerinduanku padamu tak bisa aku bendung dengan apapun, aku mohon tetaplah tinggal di hatiku dan kembali bergelayut dipundakku yang selalu siap untuk kau baringgi dalam lelahmu”, pinta Laksono.
”Laksono... kenapa kau begitu merongrong dan memaksaku untuk tetap tinggal sementara kau sendiri semakin sibuk dengan dirimu sendiri”, jelas Dhani.
”Aku selalu mengutamakanmu dari yang lain, kau tahu itu Dhani!”, jawab Laksono sambil memegang pundak Dhani.
”Aku tahu, tapi kau sadar aku membutuhkan perhatianmu yang lebih dari yang engkau tawarkan!,” Jelas Dhani.
”Apa itu Dhani...?”, tanya Laksono penasaran.
”Kau tidak pernah menanyakan bagaimana aku menyelesaikan mata kuliah yang sangat padat dan sulit, pernahkah kau membantuku mengetik tugas-tugas kuliah?, hampir tiap malam aku lakukan demi tugas-tugas kuliah, pernahkah kau sekedar mengusap peluh dikeningku dan memelukku sekedar menenangkan dalam setiap kesulitanku?,” serang Dhani dengan mata berkaca-kaca sementara Laksono tidak bisa menjawab hanya diam dan menunduk.
”Laksono... kau hanya sibuk dan sibuk mencari uang, untuk siapa kau lakukan itu...? tanya Dhani menyerang lagi.
”Untukmu Dhani!”, jawab laksono singkat.
”Laksono... kamu punya hak untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Tapi kau harusnya sadar saat ini aku tidak membutuhkan itu, aku hanya membutuhkan perhatianmu dan dorongan semangat darimu”, tuntut Dhani dengan jelas.
”Sedhani... Tetaplah tinggal dihatiku... tetaplah bersamaku... tetaplah menjadikan kesejukan di hatiku di setiap saat dan waktu”, pinta Laksono.
”Laksono... kau hanya bisa menuntut tanpa mau tahu apa yang aku ingginkan darimu, kau sangat egois!”, Tegas Dhani melepas genggaman tangan Laksono.
”Dhani... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untukmu, tapi aku mohon dengan sangat jangan tinggalkan aku!”, Laksono mencium kaki Dhani dan memohon dengan sangat.
”Jangan lakukan itu padaku, aku sangat menyayangimu tapi aku tidak bisa hidup dengan orang yang seegois dirimu!”, Dhani berdiri meninggalkan Laksono dalam kesendirian.
Laksono kembali menarik nafas yang begitu panjang, melepas segala kekecewaan hatinya pada Dhani yang sangat ia cintai yang telah menjadi masa lalunya. Kini Laksono seperti Kembali dari keterasingan di bumi yang berbeda yang ternyata lebih memberi nafas panjang untuk mengukur hari-hari yang terlewati tanpa Dhani di sisinya. Di batas kaki ia menapak lereng-lereng bumi Merapi memberi semangat di hati dan membiarkan Merapi tetap berdiri menyimpan misteri.

Lamunan Laksono terbuyarkan oleh orang-orang yang beramai-ramai berlarian mencari perlindungan dari gemuruh suara dari atas gunung menyusur bukit-bukit di lereng gunung Merapi. Laksono bergegas cepat menuju tempat yang aman dan jauh dari pasir, batu, air belerang yang terus mengucur dengan cepatnya dari arah puncaknya memuntahkan menyebar mengurai ke tempat-tempat yang lebih rendah melalui lereng-lerengnya yang curam.
Pagi ini catatan waktu telah menulis dan memberikan tanda hujan abu dan pasir aroma belerang turun dari garis-garis langit. Terlihat dengan jelas arsitektur Tuhan yang begitu menakjubkan mengukir dipuncak gununged Merapi dari kota magelang.
Hari kedua pascaerupsi Merapi semakin menegangkan, Sedhani dengan rombongan Team Sar sudah sejak pukul 06.00 wib menelusur mencari mayat-mayat yang berserakan. Sedhani memasuki rumah laksono yang sudah kosong dan tak berbentuk lagi sebagian bangunannya sudah hancur dan tertutup material yang dikeluarkan oleh muntahan Merapi. Pelan-pelan ia masuk ke dalam kamar Laksono yang terlihat paling sedikit kerusakannya dibandingkan dengan ruangan-ruangan yang lain. Di meja tergeletak sebuah pigura foto, lalu dibukannya dibersihkannya dengan ujung-ujung kain bajunya. Didinding-dinding kacanya tertuliskan ” 7 Januari 2010 dalam sebuah pangkal penantian”. Diusapkannya lagi ujung kain bajunya ke arah lebih atas lagi dari tulisan dalam gambar pigura itu. Hati Dhani terkesiap memandang sorot mata dalam foto itu, disebelahnya gambar dirinya sedang bergelayut manja dibahu laksono yang bidang. Dhani masih mengingatnya saat-saat pertemuan terakhir dia akan berpisah dengan Laksono. Ia menemukan laksono dalam sosok yang lemah tanpa daya, terpelungkup dalam keremangan jiwa yang temaram, dan tergolek tiada berdaya menghadapi lajunya waktu yang kian menjemukan. Sedangkan Dhani semakin merasakan sebuah dinding tebal yang menghadang pandangan matanya ke arah mata hati laksono yang kian menepi dalam pelupuk matanya. Dhani mengusap lembut wajah Laksono laki-laki yang sangat ia cintai.
”Laksono... Sepagi ini sudah kau tunggu merapi yang kian aktif merajuk di kesunyian hari hingga membangunkan sukma yang terdiam dalam titian aroma belerang. Ingin rasanya kusibak abu vulkanik yang diuraikannya sepanjang hari tapi satu kakiku serasa kelu untuk melangkah bergayut menuju awan tebal yang kian menutupi jalan-jalan kehatimu”, Dhani duduk lemas menyadari Laksono tidak terlihat lagi dirumahya. Tiba-tiba terdengar gemuruh suara dari puncak Merapi memuntahkan segala isi diperutnya menambah ngiris batinnya yang terpisah dari orang yang sangat ia cintai. Getarannya menimbulkan foto pigura kaca yang terpampang gagah di belakangnya terjatuh berserakan. Dipungutnya satu persatu uraian kaca yang pecah menutupi gambar yang tergolek di bawahnya. Di pojok bawah gambar dirinya dengan Laksono bertuliskan in memorial minggu, 28 Juni 2004 berlatar jembatan bengawan Solo yang tegak berdiri kokoh mengantarkan keberanian Laksono berdiri menyambut tangan-tangan kecil Sedhani sambil tersenyum memberikan kedamaian jiwa.
Enam tahun yang lalu Laksono menyatakan ungkapan jiwanya yang begitu suci di bawah jembatan bengawan Solo yang menyilang pinang pada Sedhani di bawah himpitan bintang –bintang yang bersinar terang. Kehangatan getaran rasa mengungkap benih-benih rasa yang kian tak tertahanankan untuk singgah dan bersarang di hatinya seperti angin yang mengusap lembut sukmanya memberikan rasa yang mendamaikan isi jiwanya, semakin mengetarkan lagi ketika itu telah hadir jiwa yang ternyata sudah berbaring memeluk erat disetiap tapak-tapak perjalanan kehidupannya yang semakin berjalan mengikat kuat dan menjadi bagian dari jiwanya.
Dari kejauhan terdengar pimpinan Team Sar berteriak-teriak memberikan tanda bahaya agar semua mundur dari zona yang sangat membahayakan ini. Sedhani segara beranjak pergi meninggalkan rumak Laksono yang kian tak berbentuk lagi dengan membawa foto yang kotor oleh debu. Hani dan rombongannya melanjutkan perjalannanya menyibak Abu Vulakanik mencari para korban yang tersembunyi di reruntuhan bangunan-bangunan rumahnya.
Dhani berdiri tegak menikmati suasana pagi dan memandang Arsitek tuhan yang begitu menakjubkan di belahan sudut bumi Merapi, diujung puncaknya ia keluarkan asapnya pelan-pelan berarak dan bergelombang, berjalan membentuk sebuah sketsa keinginan hasrat jiwa yang lama terpendam menyalurkan isi hati pada umat manusia. Di bawah awan tebalnya terlihat pesan yang memberikan kesaksian sebuah catatan waktu yang masih menulis dan memberikan tanda hujan abu dan pasir aroma belerang dengan lembut dan teratur turun dari garis-garis langit menuju ujung perbukitan disebelah baratnya yang membelah.
Rasa kekhawatiran semakin menganggu jiwanya akan keberadaan Laksono yang semakin tipis terungkap. Ada yang semaikin mengganggu detak nadinya untuk menemukan kembali Laksono yang sempat tersisih dari hatinya. Perjuangan hari itu hanya memperoleh sebuah kekosongan yang tak berujung. Laksono tak dapat ditemukan disetiap sudut kampung- kampungnya. Penampungan pengungsian disibaknya satu persatu tak satupun sosok Laksono dilihatnya.
Dhani terduduk lemas tak dalam keputusasaan tak berdaya. Sudah malam yang kelima tak Ia ditemukan hasil untuk segera memenuhi pangilan kerinduan jiwanya. Diambilnya Hp dikantongnya yang kumal, dilihatnya memori pesannya yang sudah berjumlah empat ribuan. Ditelusurinya pesan demi pesan hinga muncul pesan terakhir dari Laksono dipencetnya nomor itu berkali-kali. Nada sambung masih terdengar, hati Dhani sedikit lega namun masih menganjal ketika berkali-kali ditekannya tiada tanda-tanda jawaban. Kemudian Dhani menulis pesan sms untuk Laksono.
”Laksono... masih ingatkah kau saat pertama kali kita bertemu, kita berdua bergelayut di bawah jembatan bengawan Solo saksi ikatan cinta kita?”, Dhani menulis dengan sedikit sisa pengharapan akan terjawab.
”Malam ini, aku tengah menikmati hujan abu dan pasir serta aroma belerang yang mengurung di alam sekitarku saat ini. Letupan –letupan merapi pengiring aza yang berharap pasti akan pijakan-pijakan kaki yang tak henti menapak jalan kehidupan”, jawab Laksono dari tempat yang tiada di ketahui oleh Dhani.
Seperti air yang menguyur pelan dan halus dalam kedahagaan. Tenggorokan Dhani terasa basah kembali teraliri oleh sejuknya pengharapan yang semakin jelas. Ia langsung menelpon ke no hp Laksono.
”Laksono... benarkah ini kau...dimana kau sekarang?”, tanya Dhani tak sabar.
”Aku dalam kehidupan yang sangat temaram yang tak mungkin dapat kau jangkau dengan tangan kecilmu”, jawab Laksono.
”Aku merindukanmu, sudah kucari lima hari ini bersama Team Sar. Tapi dimana kau sebenarnya sekarang, aku ingin dekat denganmu seperti hari-hari yang lalu”, jawab Dani.
” Aku sudah melupakan semuanya, meski aku saat ini sangat membutuhkan pertolonganmu tapi aku tidak ingin kembali bersamamu, Aku tidak inginkan pertemuan kembali”, Laksono menutup pembicaraan dengan mematikan hpnya. Dhani hanya bisa mengigit ujung bibirnya dengan air mata yang tertahan.
Ada perasaan menyesal yang menyusup di ulu hatinya yang selalu mengganggu ketika melihat Laksono dalam penderitaan. Kalau waktu masih mampu untuk diputar kembali Dhani tak akan meninggalkan Laksono dalam kesendirian, tak akan menuntut keingginan hatinya yang berlebih pada diri Laksono. Dhani akan menerima apa adanya tentang kelebihan dan kekurangan pada diri Laksono. Semua sudah terjadi dan ikatan tali yang halus itu sudah terlepas jauh dan tak mungkin kembali terikat menjadi jalinan yang terpatri. Dhani hanya bisa menahan diri untuk memagari jiwanya yang kini terjabik oleh guratan-guratannya sendiri.
Sisa–sisa kenangan yang mengalir untuh di hati Dhani membuat hasratnya untuk tetap bergayut kembali pada harapan yang telah terlepas hingga dapat kembali menyatu di hadapan matanya yang mulai kuyu. Dhani mengirim sms pada Laksono yang tidak diketahui keberadaannya.
”Laksono... kalau itu yang terbaik buat kita aku hanya bisa menerima dengan kehampaan hati melalui luka yang semakin mengangga, tapi keingginanku untuk bertemu adalah perwakilan jiwa yang sedang mencari cinta sejati”, Tulis Dhani di hpnya.
”Sakit hati adalah sebuah ungkapan yang hadir hanya untuk melengkapi suatu proses kebahagiaan, jadi biarlah sampai kesembuhan itu hadir dengan sendirinya”, jawab Laksono dengan tenang.
”Sulitkah ... mengungkapkan sedikit kabar untuk aku yang terbelenggu dalam penyesalan cinta?”, tanya Dhani.
”Entahlah...tapi enam hari ini aku sudah kehilangan lampu-lampu terangmu. Kegelapan semakin menyudut mencekam mengangga dimana-mana. Kota seakan mati menyebar aroma belerang kesunyian. Aku terbelenggu oleh sesaknya ruang kredo. Yang mengejar langkah-langkah hati melepas di sudut kerinduan sinarmu”, jawab Laksono dengan sms di hpnya. Kemudian Sedhani menjawab melalui smsnya.
”Laksono...katakan di mana kau berada, setidaknya kutahu kau dalam ketenangan, Ingin rasanya kuberikan sinar terangku untukmu. Tapi awan kelabu yang kau taburkan di pelupuk mataku begitu melekat erat. Hanya tangan kecilku yang perlahan meraba serpih-serpih gelap malammu”, jawab Sedhani membuka hati Laksono.
”Sedhani... keinginanmu hanyalah sebuah keingginan yang tiada bertepi, Kehilanganku adalah karang-karang kekecewaan yang telah menumpuk di hati. Jangan pernah menemuiku lagi karena nama Sedhani sudah kupatri di atas batu nisan. Jadi jangan pernah sentuh hatiku lagi”. Laksono teramat sangat mencintai Dhani tetapi rasa kekecewaan yang teramat sangat membuatnya pasrah untuk mengubur kerinduannya yang mendalam.
Dendam itu telah dibayarnya malam ini. Dengan jiwa yang telah terbelah. Disepanjang gelap yang menganga memakan sepi di kedua jiwa yang mulai rapuh. Mengais sinar rembulan yang masih tersisa dalam pelukan. Sedhani tidak dapat berbuat apa-apa untuk menemukan kembali cintanya. Dengan langkah gontai ia putuskan untuk kembali turun ke kota melalui lereng-lereng merapi yang mulai sepi dari aktivitas kemarahannya.
Sesampai di rumah Sedhani menumpahkan segala kepedihannya, ia menangis terpelungkup di bawah belahan bantal-bantal tempat tidurnya. Bau debu dan belerang Merapi masih menempel di badannya yang tiada bersemangat lagi. Tangan dan kakinya terasa berat untuk bangun dari tempat tidurnya menemui matahari senja yang kian kehilangan sinar temaramnya. Hanya dinding-dinding jiwanya yang masih sanggup merayap mengapai sisa-sisa kepedihannya.


In memorial 6 November 2010
Pertanyaan:
  1. Jelaskan unsur-unsur intrinsik yang membangun cerpen di atas?
  2. Jelaskan unsur ektrinsik yang ada dalam cerpen di atas?




.

5 comments:

Seta mengatakan...

saya kurang tahu

seta mengatakan...

susah

bayu agus mustofa mengatakan...

berhenti berharap

aku tak percaya lagi
akan guna matahari
yang dulu mampu terangi
sisi gelap hati ini

aku berhenti berharap
hingga waktu datang gelap
sampai nanti suatu saat
tak ada cinta ku dapat

kenapa ada derita
jika bahagia tercipta
kenapa ada sang hitam
bila putih menyenangkan

kenapa aku tercipta
bila akhirnya kau memilih dia
tinggalah aku disini
tersudut menunggu mati

tapi tetaplah berhati-hati
ini hanya sebuah puisi
cerita dan perasaan yang asli
masih terkunci di dalam hati

estismabatiksatu mengatakan...

Bayu...puisi yang bagus cocok ma isi cerpen. Makasih ya... tetap berkarya dan belajar ya...

estismabatiksatu mengatakan...

Seta kirim emailmu dek... penting!

Posting Komentar

 
BAHASA DAN SASTRA SANG MERPATI PUTIH © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates