• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Mari belajar Drama Lewat Blog
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

GURATAN HATI

Rabu, 27 Oktober 2010

GURATAN HATI

Esti Suryani

Siang itu jam menunjukkan pukul 13.00. Para tamu undangan halalbihalal sudah mulai beranjak bersalam-salaman mengejar setiap keingginan untuk saling memaafkan kemudian kembali menemui tempat peraduannya ditaman-taman surgawi dirumahnya.

Pita gelisah menunggu telpon dari kekasihnya. Pradipta adalah kekasih keduanya yang sedang mengalami puncak kasmaran, seperti pancaran api raksasa yang aktif di puncak gunung Merapi. Ia akan terus-menerus memancar mengeluarkan semburan-semburan maha dasyat menggapai cakrawala yang ranum memerah kemudian api itu menjilat-jilatnya hingga cakrawala berubah menjadi batu-batu magma yang siap melukai dan menghancurkan apa yang ada di dekatnya.

Satu kebanggaan bagi Pita jika ada lelaki yang terus menerus mengejarnya bak bidadari yang paling cantik dan menarik yang mampu membasahi relung hati tiap laki-laki yang berhasil menatap matanya yang lembut. Seperti burung yang yang mampu terbang bebas menemukan pasangan yang ia ingginkan disetiap waktu dan setiap saat tanpa harus menetap pada aturan sang merpati yang hanya terikat dengan satu janji pasti pasangannya. Sebagai karyawati honorer disebuah instansi ia memiliki banyak teman perempuan maupun laki-laki, di dorong oleh kehidupannya yang bebas ia mampu memiliki pacar lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Baginya sebelum ada pernikahan siapapun boleh memacarinya asal dapat memberikan rasa nyaman pada dirinya.

Diperempatan Kartosuro di kota Batik Pita menitipkan sepeda motornya, Dipta sudah menunggu dengan setianya diseberang jalan di dalam mobil Senianya yang baru menanti bidadarinya yang usianya sama dengan anak pertamanya. Dipta membenahi diri menyisir rambutnya yang sudah mulai menipis di bagian jidatnya. Pitaloka tersenyum nakal menemukan kekasih barunya yang sedang menunggunya. Dipta bangga sekali dengan kehadiran Pitaloka, seorang sarjana berwajah manis berperawakan tinggi semampai. Kebanggaan bagi Dipta muncul ketika ia mampu menjerat gadis yang sangat muda di banding usianya yang mendekati kepala 5. Sebuah semangat baru bersarang di dadanya yang sudah mulai keribut dan matanya kembali bersinar disela-sela garis-garis ketuaanya..

“Ayah… maaf ya… terlalu lama menunggu, tadi aku kehabisan bensin padahal uangku tinggal dikit,” Kata Pita manja melenggak-lenggokkan badannya.

Tidak apa-apa jeng…, kalau uangmu habis entar Ayah kasih yang banyak, kata Dipta mempersilahkan Pita duduk di jok mobil sebelahnya.

Ayah adalah panggilan mesra Pita untuk Dipta, Dipta merasa jadi laki-laki sejati setiap kali Pita memanggil sebutan itu. Disela-sela kesibukannya di kantor Dipta selalu diganggu telpon dari Pita, beberapa teman menegurnya, Dipta selalu memberikan jawaban “ Dari anakku yang terakhir, dia selalu mencari-cari aku terus. ”. jawabnya singkat.

“Kita makan dimana sayang…?” Tanya Dipta sambil memegang lembut paha Pita tanpa reaksi penolakan dari Pita.

“Makan di kamar saja Ayah… diluar tidak nyaman, panas dan tidak bebas”.

Hari-hari indah mewarnai kehidupan Dipta. Warna suram di wajah usianya yang dewasa terhalang oleh warna cakrawala yang hadir di sudut-sudut rongga awan yang tebal

Setelah membeli makanan, mobil Senia baru milik Dipta ia bawa meluncur keluar kota kearah Utara menyusur menuju rumah singgah ”Dwi Agung” menghindari hiruk pikuk kesibukan kota menuju arena pergulatan sukma yang penuh gemerlapan bunga-bunga keajaiban cinta yang semakin memerah jingga. Perbedaan usia tersamar olah gorden putih penutup kamar. Dalam tabirnya Dipta menyadari tak merasakan adanya wanginya aroma lasuardi tapi wangi yang mengambang pias tanpa rasa. Sesaat Dipta lupa dipundaknya ada seorang istri dan 3 putrinya yang manis dan pintar-pintar.

” Ayah … aku kasih tahu , aku dapat banyak sms dari Yuda , ia selalu mengejarku,” Kata Pita mencari perhatian.

“Apa isinya sayang…?, jawab Dipta mesra sambil mengecup keningnya. “Katanya dia inggin memperistri aku, ia bilang istrinya sudah tidak bisa lagi melahirkan anak, kebangeten kan Ayah..kasihan istrinya” jawab Pita pura-pura berang.

“ Pita sayang…Kamu cinta ma Ayah apa Yuda?

“Aku sama sekali tidak cinta Yuda, aku hanya cinta Ayah seorang”

Tiba-tiba hp Dipta berdering mendapat telpon dari istrinya memecahkan suasana hati Dipta yang mulai memanas. Ia tidak menggangkatnya, ia matikan hpnya. Dipta tidak habis pikir disetiap kali bersama pita istrinya selalu menelponya. Seperti ada felling magnet yang dirasakan oleh Atin istrinya.

Pitaloka sangat senang menerima segala pemberian dari Dipta tanpa ia minta, pakaian, uang, dan segala bingkisan yang ia berikan untuknya. Dua jam sudah pitaloka dan Dipta menikmati kebebasannya. Mobil Senia hitam berjalan meluncur kembali ke dalam pusat keramaian kota. Pitaloka ia turunkan di depan penitipan sepeda motor di kota Bengawan. Pitaloka tersenyum gembira mendapatkan kemenangan hari ini dari si tua yang bodoh dan tolol itu. Sebutan ”Tolol” khusus dia berikan untuk cahyo laki-laki yang mau saja ia bodohi. Pita akan segera memutuskan Dipta manakala sudah rasakan kepuasan di tangannya dan menikah dengan Yuda laki-laki tampan yang ia kejar selama ini.

Yuda laki-laki muda tampan, dan memilki masa depan yang cerah. Adalah sasaran berikutnya, Yuda sangat mempesonanya, niat untuk merebut ia dari istrinya selalu menghantui dan menari-nari di seputar kepalannya. Hingga suatu hari Pita berhasil mengajak Yuda ke Tawang Mangu. Sebuah tempat yang indah dan nyaman menentramkan setiap hati yang mulai jenuh dengan rutinitas dan peraturan-paraturan yang sangat membelenggu diri sendiri. Pemandangan baru telah ditemukan oleh Yuda, semangatnya mampu membakar jerami-jerami yang kini melapang di silinder bola matanya yang hitam dan membulat kemudian mengecil hingga tak terlihatkan lagi tertutup oleh wara putih lainnya.Yuda terlelap dalam dekapan rembulan malam yang semakin dinggin dikulitnya.

”Papa... aku pengin jadi istrimu?, rayu Pita.

”Aku...tersanjung Pita, akan aku lakukan apa saja untukmu Pita”, Yuda binggung menjawab pertanyaan Pita yang terlalu terang-terangan.

”Tapi aku pengin papa hanya jadi suamiku saja bukan suami orang!” pinta Pita manja.

”Ah... itu gampang saja... secepatnya aku cerai dia. Aku pengin punya anak darimu, istriku tidak bisa hamil lagi sayang”, tegas Yuda meyakinkan.

”Papah... mau mengabulkan pemintaanku, makasih ya...!”, Pita tersenyum manja dan nakal.

”Pita... aku sudah merasakan bukti cintamu selama ini, kau sudah menyerahkan segala-galanya untukku,” Yuda membalas senyum nakal Pita.

” Papah sayang...Tidak ada orang lain di dunia ini selain kamu yang aku cintai. Sekarang ataupun kelak sama saja hanya untuk kamu mas Yuda,” jawab Pita kembali.

”Bagaimana hubunganmu dengan Dipta, Meskipun ia pantas jadi ayahmu tapi dia sangat memanjakanmu. Segala yang kamu kenakan semua pemberian dari Dipta”, sindir Yuda pada Pita yang bergayut manja di pundaknya.

”Tidak...Yuda, aku tidak mencintainya, aku hanya mencintaimu seorang, Dia yang mengejar-ngejar aku selama ini tapi aku tidak mencintainya,”

Yuda lelaki ketiga luluh kembali dibuatnya hingga merasakan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Kembali Pita bertepuk gembira telah berhasil menyalakan api gejolak cinta seorang laki-laki yang sangat dasyat memikat.

Dirumah Atin istri Dipta mulai merasakan ada gelagat suaminya yang berbeda. Dipta tidak pernah sekalipun mematikan hp tapi kali ini berkali-kali kesulitan menelponnya. Sms yang ia kirimkan juga tak terbalas. Kasak kusuk sudah terdengar tentang Dipta dengan Pita di kampungnya. Batin Atin menangis mendengar itu, berbagai upaya ia lakukan hanya untuk menginggatkan suaminya Dipta yang sudah mulai keblingger dengan rayuan Pita yang manis itu.

”Pah... mama dengar Papa serong dengan Pita, gadis remaja yang sedang mekar-makarnya itu. tega bener pah!,” Atin tak dapat menahan ucapan getar dibibirnya.

”Atin... ga ada yang namanya serong dengan pita, itu bohong semua”, bentak Dipta.

”Tidak bohong, papa memang menghianati mama”, kata Atin sambil menangis.

”Kamu jangan kurang ajar sama suamimu ini, mana buktinya tunjukan!,” Dipta semakin berang.

”Papa yang kurang ajar sama mama, bukti ada pah...!”, jawab Atin

”Pita itu seumuran anak kita, tidak mungkinlah papa lakukan itu. Barangkali kamu yang serong ya... kamu pergi jauh dari rumah ini, jangan campuri urusanku ini, ” bentak Dipta lagi.

Atin hanya tertunduk matanya basah, satu-satunya laki-laki yang sangat ia cintai telah mengusirnya. Dipta pergi dengan membanting pintu rumahnya kemudian membuka pintu mobil barunya dengan senyum yang menggembang membayangkan pertemuannya dengan Pita.

Bagi Dipta Pita adalah sesuatu yang berbeda dengan Atin yang gembrot dan lugu. Atin istrinya yang ia kenal dulu ketika masih Kuliah di UNS Jurusan Kimia sangat mengesankan. Setiap kali Dipta berangkat kuliah ia akan menatap sosok gadis manis yang selalu tersenyum tersipu-sipu manakala ia sapa. Atin selalu naik sepeda ontel setiap berangkat sekolah. Hingga kami semakin dekat dan menyatakan saling jatuh cinta. Sebelum menikah Atin sempat dijodohkan dengan lelaki kaya raya di kampungnya tapi Atin menolaknya lebih memilih aku laki-laki sederhana anak seorang janda angkatan darat yang sempat bekerja di Rumah Sakit Angkatan Darat Surakarta ini. Atin yang sekarang bagi Dipta sangat membosankan, Pulang kerja, Dipta selalu jam 21.00 malam, dalam keadaan capai tidak pernah ada sambutan dari istrinya. Atin sudah tertidur pulas dengan bau badan dan bau rambutnya yang sangat memuakkan.

....

Loroneng loro... ora koyo wong kang nandang wuyung..

Turu ra penak mangan ra jenak

Nenggomah binggung...

Langgam wuyung milik Waljinah selalu dilantunkan manakala bertemu dengan Pita. Terlihar senyum menggembang mengeser guratan-guratan kecil di sudut bibir , sudut mata ,dan dahinya. Tiba-tiba dari arah depan Atin telah mencegat mobil Dipta. Dengan cekatan diremnya mobil dengan keras.

”Ada apa lagi ... kita sudah pisah sejak kau aku usir tadi. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi”, kata Dipta keras.

”Pah... sadar pah... Papa sudah sering membuat mama menderita sekarang pergi dengan Pitaloka”, kata Atin menyadarkan suaminya.

”Ya... Pitaloka sangat mencintaiku tidak seperti kau yang tidak pernah menghargaiku”, Jawab cahyo acuh pada Atin Istrinya.

”Jadi papa benar-benar serong dengan pitaloka...!”, Atin tak bisa menahan tangis kecewa.

“Ya... mau apa...!” Dipta menstater mobilnya.

“Jahat banget papa lebih mementingkan perempuan itu daripada mama. Sadar pah... pitaloka itu Cuma mempermainkan papa. Mana ada gadis remaja mau dengan laki-laki yang hampir menjadi kakek sepertimu kalau tidak hanya untuk permainan saja”. Atin menasehati suaminya dengan mata yang basah.

”Tidak... cinta Pitaloka tulus...dia sudah menyerahkan segala-galanya untukku, jiwa raganya, aku sangat menghargai cintanya”. Mata Dipta memandang berapi-api ke arah bulatan mata Atin.

”Pah...dengar dulu mama tahu pasti, kalau Pitaloka itu bukan perempuan baik-baik. Ia tidak dengan papa saja tapi juga berpacaran dengan laki-laki lain selain papa”, Atin menegaskan keburuka pitaloka.

”Apa kau bilang....Apapun keburukan pita papa sangat mencintainya., dengar Atin... kau bukan apa-apanya, sejak aku usir kau, saat itu kita sudah tidak ada apa-apa lagi, semua dianggap sudah selesai titik!”. Bentak Dipta sambil mendorong tubuh Atin hingga terjerembab ke tanah.

”Denger pah ... Pitaloka sudah terbiasa dengan om-om senang lainnya selain papa..!”, jerit keras Atin berusaha menahan langkah Dipta yang semakin tergila-gila dengan Pitaloka.

”Apa kau bilang Atin...? ” jerit Dipta tidak terima.

”Ya... papa di dobel oleh Pitaloka dengan om senang lainnya!” jawab pita sambil menahan kesedihan sambil meraba pahanya yang basah merah darah dari dalam rahimnya. Atin kembali berteriak memanggil nama suaminya.

”Pah... tolong aku pa... aku pendarahan pa... !” Tangis Atin meledak melihat darah yang mengalir di pahanya. Dipta berpaling ke arah Atin, kemudian memalingkan mukanya lagi.

” Masa bodoh... urus sendiri itu sebuah resiko bagi seorang wanita, sekalian gugurkan saja, aku tidak mengingginkan itu”, Dipta menstater mobilnya yang tadi terhalang pembicaraan Atin. Ia kembali meluncur mencari sang bidadari yang semakin membuatnya cemburu buta.

Mendengar ucapan Atin yang terakhir, hati Dipta bergemuruh kencang sekali... berpacu antara keinginantahuan, marah, kecewa dan keputusasaan. Hp Pitaloka tidak bisa di hubungi sejak sabtu siang kemaren. Rasa kangen dan kekawatiran menganggu di anggan-anggannya yang mulai terkikis seperti rambutnya yang mulai menipis. Uban mulai tumbuh di sudut-sudut ruang kepalanya. Ia meluncur dengan cepat ke arah rumah pitaloka. Ayah pitaloka yang sakit-sakitan tertidur di balai-balai rumah tuanya yang sangat sederhana. Ibunya Pitaloka yang juga menderita Diabets mempersilahkan Dipta masuk ke dalam rumah.

”Ibu... pitaloka ada?”, tanya Dipta dengan sopan santun.

”Tidak ada pak... ”, jawab ibu Pitaloka pelan.

”Sudah sejak sabtu siang kemaren mengginap di tawang manggu, katanya dapat tugas Raker dari kantor tempat kerjanya”, jawab ibunya menjelaskan.

”Kalau begitu saya permisi dulu bu...” jawab Dipta kecewa.

Pradipta terheran-heran mengetahui kepergian Pitaloka tanpa memberi pesan apapun dengan Hp yang tidak aktif. Dipta ingin segera menyusul Pitaloka untuk menyampaikan rencana perceraian dengan istrinya seperti yang telah Pitaloka minta selama ini. Terbersit dalam pikiranya untuk menelpon salah satu temannya yang sekantor dengan Pitaloka.

”Man... benar di kantormu ada Raker di Tawang Manggu sejak sabtu siang kemaren, katanya Pitaloka ikut juga?” Tanya Dipta tegang kepada teman kantor Pita yang kebetulan juga temannya.

“Tidak ada mas... Raker apaan. Jadwal Raker tahunan jatuh pada bulan Juni, sekarang bulan Oktober, kamu ngaco aja Dipta...”. Jawab Maman santai.

“Jadi tidak ada acara Raker di kantormu ya man...”, jawab Dipta tidak percaya.

“Tidak ada…. Pitaloka biasanya kalau liburan pergi dengan tunangannya di Tawang Manggu”. Jelas Maman keras.

“Emang Pitaloka sudah punya tunangan?”, panas dada Dipta mendengar itu.

”Gimana ya …. aku sendiri juga binggung, tunangannya sering berbeda-beda, tapi coba ini ada no telp Yuda temenku satu kantor yang lagi dekat sama dia akhir-akhir ini”. Maman menjawab sambil memperlihatkan no hp Yuda. Dipta langsung menelpon no yang disebut Maman.

”Halo... ini rumah pak Yuda...?” tanya Dipta keras

”Benar... ada apa...?”. jawab seorang perempuan dengan suara lembut dari kejauhan.

” Pak Yuda ada di rumah?”, tanya Dipta tidak sabar lagi.

” Tidak ada...sudah sejak kemaren siang , dia pergi ke Tawang Manggu , katanya di kantornya ada Raker begitu” Jawab seorang wanita dengan nafas yang mulai payah.

Telingga Dipta memerah mendengar ucapan itu. Dalam hati ia membenarkan firasat istrinya yang mengatakan bahwa Pitaloka memang bukan gadis baik-baik, Pasti Pitaloka pergi dengan laki-laki itu.

Keesokan harinya Dipta menyusul ke kantor Pitaloka, mencari jawab pertanyaan tentang bidadarinya yang sempat membuat dirinya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dipta menemukannya disebuah kantin kantor Pita sedang makan soto.

”Jeng...dari kemaren da bisa di telpon kenapa. Aku telpon diajeng juga tidak di rumah kemana?” tanya Dipta menahan emosi.

”Ayah...kok serius amat... pulsa Hpku habis, aku da punya uang untuk beli pulsa dan aku tidak pergi kemana-mana di rumah saja seharian nemani ibuku.” jawab Pitaloka dengan manja.

”Bukanya kau pergi dengan Yuda ke Tawang Manggu mengikuti Raker...Raker macam apa itu, di kantormu ini tidak ada acara Raker-Rakeran”. Mata cahyo membelalak marah.

”Kau sudah selingkuh dengan laki-laki lain, saat ini kita putus!”, tegas Dipta

” Ayah... selama aku belum menikah aku bisa bebas bergaul dengan siapa saja”, jawab Pita membela diri.

”Kau punya prinsip bebas bersama dengan laki-laki siapapun berarti kau perempuan bejat. Terbiasa di bawa oleh laki-laki bebas namanya lonthe...!” Dipta marah sambil mengacung-acungkan jarinya ke muka Pitaloka yang menangis tersedu-sedu.

” Ayah dengar dulu penjelasanku, aku tidak kemana-mana ibuku sangat melarang aku pergi dari rumah apalagi dengan laki-laki. Aku sudah bertunangan dengan pilihan orang tuaku, aku tidak mencintinya, aku hanya mencintai ayah seorang tidak ada yang lain”, rintihan Pitaloka meruntuhkan panasnya halilintar yang mengelegar memecahkan batas cakrawala kehidupan yang penuh fatamorgana.

Sudah satu minggu Dipta tidak ketemuan dengan Pitaloka. Kesibukannya hampir melupakan bidadarinya. Sore ini ia berencana menemui pitaloka tetapi tiba-tiba istrinya mencegahnya.

”Pah... mau kemana ... jangan pergi dulu...kandunganku baru mengalami pendarahan, nanti sore tolong anter aku kontrol ke dokter kandungan, aku merasakan sakit yang teramat sangat pada bagian perut bawah, mungkin akibat kiret. Lagian anakmu juga membutuhkan uang buat bayar bimbel di GO” Atin menahan tangan Dipta.

”Atin... perempuan tak tahu di untung sudah aku biarkan kau tinggal di sini masih saja menganggu urusan aku. Aku mau pergi urusan penting, lebih penting dari kandunganmu dan anakmu itu.lepaskan tanganku”, Dipta memaksa melepas tangan Atin yang menahannya.

”Pah... dia anakmu ... butuh uang. Mamah kalau ada pasti sudah tak bayar. Tapi kali ini mama kehabisan uang. Sudah sejak bulan april Papa tidak memberiku uang belanja sekarang sudah oktober, 6 bulan pah...”, rintih Atin pelan.

”Bayar sendiri dengan uangmu entah bagaimana caramu mencari uang untuk anakmu itu... aku mau pergi jangan tunggu aku kembali”. Dipta berjalan keluar teras rumahnya.

”Pah... dengarkan aku dulu pah...”, kembali Atin menahan tangan suaminya.

”Katakan apa cepat...!”, Bentak Dipta tidak sabar.

”Kalau saja papa mau jujur sejak awal, jangankan hanya menyukai Pitaloka menikah dengan pitalokapun aku ikhlas kalau itu bisa membuat hati Papa bahagia.

”Benar pah... Cuma sayang kalau seorang papa yang hebat seperti ini dengan mudah dikadali oleh pitaloka. Mama sudah cari informasi tenang Pitaloka yang sebenarnya. Pitaloka bukan gadis baik-baik, Papa harus percaya itu” Atin mengusap lembut rambut suaminya yang menipis dan memberikan kecupan hangat di dahinya, kemudian pergi membiarkan suaminya duduk sendiri di teras rumahnya.

Dipta mengurungkan niatnya menemui Pitaloka, Ia duduk merenung sejenak apa yang telah terjadi dengan dirinya. ”Kegilaanku itu, dengan seorang gadis remaja yang begitu beraninya menyeretku dalam kehidupan yang begitu nista dan bodoh ini. Aku tidak berpikir panjang atas kegilaanku, apa jadinya kalau aku masih terus bersama Pitaloka, belum lagi jabatanku di kantor pasti akan tergoyahkan, Namaku yang penuh wibawa di kantor dan di masyarakat pasti juga akan tercemar. Dan ternyata aku sudah melupakan anak istriku yang sangat mencintaiku, janin dalam kandungan istriku sudah terlepas akibat perilaku burukku dan aku tidak bisa jadi laki-laki yang bertanggug jawab, sudah menghilangkan calon makhluk yang akan hidup mengantikan aku di dunia ini. Aku benar-benar laki-laki yang paling bodoh di dunia ini”. Dipta menghela nafas panjang.

”Ternyata istriku memiliki ikatan batin yang kuat denganku, begitu cepatnya perbuatan buruk yang aku lakukan akan dengan cepat dirasakannya. Besok pagi aku harus mencari kejelasan tentang Pitaloka. Kalau benar apa yang dikatakan istriku, aku akan memohon ampun istriku, aku akan mencium kakinya, aku akan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Hanya istriku seorang yang harus aku cintai”, Dipta menyandarkan tubuhnya di kursi hingga tertidur pulas.

”Papa maafkan mama... yang bersikap keras dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga ini, beberapa kali keluar kata-kata kasar dari mama hanya untuk mengingatkan papa saja, karena mama sayang papa. Seperti akar yang ada dalam hati, mampu mengurai dalam jiwa. jiwaku tak pernah mati papa..., karena sukma ini selalu erat mendekap raga. Itulah getar cintaku padamu suamiku”, kata Atin pelan mengiring tetes-tetes air mata di balik gorden sambil memandang kerutan wajah suaminya yang semakin menunjukan usia ketuaan.

In Memorial 16 Oktober 2010. Boyolali

Terima kasih buat seseorang... yang telah kasih inspirasi.

Cinta hadir tanpa logika menciptakan manusia menjadi orang tak berakal, dan menjadikan manusia lupa kehidupan yang sebenar-benarnya.

0 comments:

Posting Komentar

 
BAHASA DAN SASTRA SANG MERPATI PUTIH © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates