• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Mari belajar Drama Lewat Blog
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

LEMBUTNYA SINAR MATAMU

Selasa, 18 Januari 2011

LEMBUTNYA SINAR MATAMU
Esti Suryani

Malam itu ada ranting cemara terderai sampai jauh dengan jiwa yang berjalan tak tentu arah pasti merasakan hati yang tertahan. Kakinya ingin melangkah pasti ke arah kuncup-kuncup hatinya yang semakin menggembang tapi jiwanya selalu mengulur menarik untuk kembali.
Prasetyo tak mampu menahan katup matanya untuk terus terpejam, pelan-pelan dibukanya dan menemukan langit-langit putih kamarnya yang redup. Seperti temaramnya temaramnya hatinya yang selalu meragukan  kapan dunia ini akan bermula kembali. Sepeti mula pertemuan Adam dan Hawa dengan segala kelemahan dosanya yang tersiratkan akan saling cinta dalam dadanya.
Hati dan jiwa Pras terasa sakit manakala ia ingat ketika ia telah siap menata hati dan jiwanya dalam sebuah ketulusan, memulai sebuah perjalanan hati, tiba-tiba ada sejumput kata-kata yang  menandai adanya sebuah kotakan-kotakan yang membentuk kubus-kubus pemisah oleh jarak dan waktu. Matanya kembali berkaca-kaca sesaat menatap foto dilaptopnya bersama Ngesti wanita impiannya ketika makan siang di sebuah rumah makan Adem Ayem di kota Surakarta. Seperti menunggu sebuah permulaan yang akan segera berakhir seperti merpati yang terbang terlupakan oleh  janji setianya yang telah menjadi sebuah ikatan emosi yang tersemat di ujung kedua sayapnya
Pras duduk membuka laptopnya menulis pesan untuk Ngesti. Hanya lewat email keduanya mampu tetap menjalin pesan demi pesan.

            Merpatiku...
            Sesaat dari kejauhan lewat selimut malam aku melihat sinar matamu
            Aku telah menemukan segurat halus ketulusan cinta dalam jiwamu
            Yang terus mengalir lembut perlahan, perlahan sekali...
            Cinta itu mengguyur lembut dan menjadikan indah hari-hariku.

            Saat aku tatap kembali sinar matamu di memori laptopku
            Aku semakin merasakan seonggok kepasrahan hati yang putih bersih
            Tanpa kebimbangan dan keraguan yang bersimpang dengan kepastian
            Yang selalu berharap dan padu dalam getar dan tantangan

            Saat aku melihat bibirmu...
            Sepatah katapun tak terucap
Hanya senyum yang menggembang disudut kedua ujung bibirmu
Namun terasa hangat menyentuh anganku

Ku ingin tetap menggenggan jemari tanganmu yang hangat
Dan aku bisikan di telingamu bisikan suara  hatiku
“ Kan ku tempatkan kau dalam ruang hatiku dan tak akan pernah
aku lepaskan sedetikpun dari pelukanku jiwa dan ragamu untuk selamanya”.

Prasetyo  menutup laptopnya setelah mengirim pesan pada ngesti yang selalu membuat ia berjalan di atas air dan berpegangan dengan akar-akar liar. Ia mencoba berbaring di atas tempat tidurnya tapi semakin ia merasakan hanyut dalam kedalaman dan tak mampu kembali ke jalan yang sama yang pernah ia lalui. Dengan berat ia penjamkan mata dan melangkah menemui ujung langkahnya yang semakin terasakan adanya jiwa, rasa, dan cinta yang tersandar di pundaknya yang kokoh. Dengan keyakinan esok hari harus ia temukan  segenggam hati yang tertinggal di  kota bengawan yang selalu mengganggu hari-harinya.
Sehabis sholat dhuhur  di Masjid Agung Surakarta Pras berjalan menuju arah utara duduk diujung pertigaan jalan yang ramai. Lalu lalang para pengunjung Pasar Klewer dan toko-toko di kiri kanannya yang membeli dan meihat-lihat berbagai model jenis kain batik. Ngesti di rumahnya segera bergegas menyambar kunci sepeda motor menuju tempat di mana Pras telah menunggunya.
Di ujung jalan pertigaan di samping masjid Pras menunggu dengan sabarnya. Matanya yang redup tertunduk tak berani menatap melihat kedatangan ngesti. Ngesti tersenyum dalam hati, membelokkan arah berlindung di balik kerumunan orang-orang sambil memandang tingkah laku Pras yang kehilangan bayangan dirinya. Pras mengangkat wajahnya, sorot matanya menatap tak percaya, ia tak menemukan ngesti. Ia berdiri bergegas berjalan mencari bayangan yang menghilang yang sempat ia temukan tadi. Tiba-tiba di belakangnya telah berdiri sosok bayangan yang ia cari.
“Pras... maaf aku terlambat datang”, jawab Ngesti menguluran tangannya.
“Nda pa...pa... aku baru saja datang, jadi belum lama aku menunggumu”. Senyum menggembang disudut bibir kedua insan yang sedang bahagia.
“ Ngesti... Benarkah...jiwa ini tak lagi sendiri...? Tanya Pras menatap mata Ngesti yang merunduk.
“ Ya... kau tidak sendiri Pras... jiwaku telah bersamamu”. jawab Ngesti pelan.
“ Kau telah bisa mengisi ruang hatiku,” kata Pras.
            Ngesti tidak menjawab kalimat Pras yang segera menarik tangannya dan mengajak ke Kusumasari, rumah makan sederhana tetapi sangat nyaman dan tenang. Tepat di depan Kusumasari terdapat toko Sinar Dunia menjual perlengkapan alat-alat tulis, sebagai toko grosir banyak dikunjungi oleh para pembeli. Pras sering belanja banyak untuk melengkapi isi toko dirumahnya. Di samping kiri kanannya terdapat banyak tukang becak yang mangkir menunggu para pembeli di toko Sinar Dunia dan para pengunjung di rumah makan Kusumasari. Ada beberapa tukang becak yang kebetulan tinggal dikampung Ngesti. Setelah memesan makanan Pras melanjutkan pembicaraanya lagi.
“ Sebenarnya ada sisi ruang hatiku yang rumpang, sekarang aku merasakan ada yang mengisi, kau yang mampu mengisi Pras... kini sempurna sudah hatiku. Tapi tiap kali aku meraba hati ini, ada yang aku khawatirkan tentangmu”, Ngesti menunduk.
            “ Apa itu ...?” Pras mendesak penuh tanya.
“ Kita mampu saling mengisi, kita mampu saling memahami, bahkan kita sangat saling menghargai pribadi kita masing-masing hingga mampu melengkapi perjalanan hidup kita. Sesuatu telah mengalir alami setahap demi setahap  tanpa kita sadari. Akhirnya kita memiliki ikatan emosi yang sangat luar biasa”, Ngesti menatap mata lembut di depannya.
“ Sama seperti yang aku rasaan”, jawab Pras
Balasan lembut mata Pras membuat Ngesti ragu menyampaikan kekhawatirannya selama ini. Kalimat yang sudah tersusun rapi hilang di tengah perjalanan. Ngesti mencoba lagi menyusun kalimat demi kalimat.
            “Pras... jarak kotamu dan kotaku sangatlah jauh, kita tak mungkin mampu bertahan dalam kejauhan seperti ini. Memang cinta tak akan putus oleh jarak tapi jarak akan membuat kita semakin menjauh. Suatu saat pasti akan terjadi apa yang aku hawatirkan. Kau ... Pras yang saat ini ada disisiku akan semakin lama semakin menjauh karena jarak dan waktu”. Ngesti menatap dalam-dalam mata Pras.
            “ Ngesti... aku tahu ... kesibukan dan jarak kita, suatu saat akan menjadi bumerang bagi kita dalam membagi waktu untuk mengadakan pertemuan-pertemuan seperti ini. Tapi semakin aku berusaha untuk menjauh darimu, rasa yang ada ku coba untuk ku tanggalkan, kenyataan semakin erat mengikat hatiku. Kalau saja aku mengikat erat aku yakin pasti akan kuat mengikat. Tapi kalau sedikit saja aku longgarkan ikatan ini pasti akan terlepas”, jawab Pras.
Jemari tangan Pras mengenggam erat jari-jari tangan Ngesti seakan tak inggin ia lepaskan selamanya. Mata redup itu basah membasahi kerontangnya jiwa ngesti setelah beberapa waktu terombang ambing oleh ketidakpastian perjalanan hidup. Kini Ngesti membalas gemnggaman tangan Pras yang kuat dan kokoh.
“ Sungguh suatu kebahagian ketika aku berada di ujung perjalanan yang indah dan menenangkan hatiku. Genggaman tanganmu selalu membuatku tenang, kau harus tahu Pras...!”, Ngesti meyakinkan kekhawatiran Pras.
Sesaat ngesti melupakan apa yang ingin ia sampaikan. Sebuah kekhawatiran tentang akhir perjalanan dengan Pras. Ketulusan Pras meluluhkan gunung es yang selama ini mendekam dalam hatinya yang beku. Sorot mata Pras mampu memecahkan mata batinnya yang dipenuhi oleh penjara keraguan. Dijumputinya kepingan-kepingan  keraguan itu yang akhirnya membentuk sebuah kristal ketulusan.
“Aku akan pahami dirimu sebagai pribadi yang penuh dengan ketulusan, Biarlah kita jalani, andai ada sebuah keingginan biarlah jadi sebuah keingginan yang tidak harus kita jalani. Mungkin inilah yang terbaik buat kita. Saling genggam tangan melangkahkan kaki dalam ketenangan hati”, jawab Pras dengan tetap mengenggam tangan Ngesti.
“ Aku akan memberikan yang terbaik untukmu Pras”, Ngesti menatap kembali mata Pras.
“Aku akan memanfaatkan kesempatan yang telah kau berikan dan tetap berusaha untuk jadi yang terbaik buatmu juga”.
Ngesti merasakan hembusan angin menembus menyusup masuk ke dalam hatinya.  sejuk sesejuk embun pagi yang hadir ditengah hari.
Makanan yang ia pesan telah menunggu sentuhan tangan pemesan di atas meja, Minuman yang hangat telah menjadi dingin terbawa udara AC di ruangan itu. Pras mengambil udang goreng di depannya, diarahkan ke mulut ngesti. Ngesti tersenyum menyaksikan sikap Pras yang berusaha memanjakannya dengan menyuapi makanan di mulutnya.
“Ngesti aku akan beruasa jadi yang terbaik buatmu”, kata Pras
“ Suapan ini juga yang terbaik?”, tanya Ngestu
“ Ya... inilah awal kebaikan yang akan aku berikan untukkmu”, tegas Pras
“Meskipun entah kapan lagi kita bertemu karena jarak dan waktu?”, tanya ngesti lagi
“Ya... karena jarak dan waktu”, jawab Pras mantap
Sesat diam. Hanya senyuman yang mewarnai waktu makan mereka berdua. Pada sendoan terakhir Pras menahan di depan mulut Ngesti.
“Kenapa Pras... kau tahan, aku sudah terlanjur membuka mulut”, tanya Ngesti menahan mulutnya tetap terbuka.
“Aku mencintaimu Ngesti, terimalah dengan ikhlas segala kekuranganku dan kelebihanku”, ungkap Pras.
“Pras... aku tidak ragu menerimamu, tapi apa kau juga menerima kekuranganku?”, tanya Ngesti.
“ Aku yakin menerima segala kekurangan dan kelebihanmu. Sekalipun kau berubah menjadi merpati putih dan aku menjadi awan putih yang tidak mungin menyatu tapi aku tetap membiarkan dan merasakan kepakan sayap merpati putihku diawan putihku”, jawab pras semakin membuat Ngesti yakin akan cinta Pras padanya.
Tak terasa hari sudah semakin sore Prasetyo melanjutkan langkahnya melewati lintasan sungai Bengawan Solo untuk kembali ke kotanya Wonogiri. Bengawan Solo yang konon meluap sampai jauh telah diabadikan oleh sang maestro Gesang. Benar juga kata Prasetyo dalam hati seperti hatinya semalam serasa aan meluap-luap tak terkendali. Sore ini dalam perjalanan pulang, sungai yang menggunung kini telah mengalir melalui tanggul-tanggul hatinya yang sudah terbuka oleh juru kunci yang memegang kendali jiwa yang sedang menanggung beban cinta yang sempat menyesakkan. Perjalanan 3 jam tak terasa oleh Pras yang sedang merasaan kebahagiaan. Perseneling ditangan kirinya terasa sehangat tangan Ngesti yang digenggamnya erat-erat. Kompling di kaki kanannya ikut merasakan hentakan-hentakan lembut di hatinya. Mengikuti sentuhan-sentuhan dua pasang kaki yang sempat merajut di bawah meja makan tadi siang.
Sebulan terasa lama buat Ngesti dan Prasetyo untuk tidak bertemu. Suatu hari Ngesti menelpon Prasetyo, HP selalu dimatikan. Tak lama kemudian terdengar melodi di Hpnya. Ia menerima sms dari Prasetyo.

Ngesti aku ingin meminta sesuatu darimu. Tapi aku ragu kau mau mengabulkan permintaanku atau tidak. Aku ingin kau hadir di sisiku atas permintaan kedua orang tuaku. Aku harus tetap menerima kehadiran wanita yang pernah aku cintai di masa lalu tapi saat ini aku lebih tertarik senyumanmu. Kuharap kau tahu maksudku. Aku akan menemuimu di tempat biasa hari kamis besok.

Orang yang sedang jatuh cinta memang lebih peka perasannya sama seperti orang yang sedang patah hati. Mudah untuk tersenyum, sedih, tersinggung, atau marah sekalipun. Perasaan Ngesti seperti rasa rujak yang selalu ia beli di dekat pasar Grogol 300 m dari ujung utara jembatan Mbacem, 1000 m dari pasar Grogol. Ada rasa asem dari ujung hatinya yang kecewa, ada rasa manis dari sudut hatinya yang sedang jatuh cinta, dan ada rasa asin di rongga hatinya yang merasakan sesuatu yang berlebihan mendahului kata hatinya.
Pertemuan di Kusumasari digagalkannya oleh Ngesti, ia pindahkan ketempat yang lebih romantis, di Arizona ia pilih, sebuah tempat yang sejuk nyaman meskipun menu yang dihidangkan kurang nikmat rasanya. Pras memilih tempat yang lebih sempit dan tidak terbuka. Sebuah kazebo bertuliskan Arizona dipilihnya sementara pelayan menyiapkan makanan kakap asem manis kesukaan mereka berdua. Satu hal yang membuat Ngesti menginggat kebiasaan Prasetyo. Jari tangannya selalu meraba punggung sebelah kiri milik Ngesti yang memiliki benjolan sebesar biji salak. Pada awalnya terasa canggung tapi beberapa kali disentuhnya terasa seperti suatu kebutuhan untuk selalu menerima sentuhan kasih sayang dari seorang laki-laki, sebuah kepedulian pada kekurangan yang ia miliki. Rasa pesimis membelengu jiwa Ngesti saat menatap kedua bola mata lembut yang ada didepannya.
“Pras... apa maksud smsmu kemaren mengatakan ada perempuan lan selain aku?”, tanya Ngesti.
“Ada perempuan masa laluku yang memang sulit melepasnya”, jawab Pras.
“kalau kita terus melangkah pasti ada yang tersakiti,” kata Ngesti menatap mata lembut itu.
“Aku mohon pengertianmu, biarkan aku selesaikan masalahku, “pinta Pras.
“Baiklah kalau kau pinta pengertianku, untuk menyelesaikan masalahmu, silahkan... aku akan  mengundurkan diri dari kehidupanmu, kita akhiri hubungan ini!”, tegas Ngesti.
“Ngesti... jangan begitu, aku sangat membutuhkanmu. Aku tidak mau kehilanganmu, kita masih punya komitmen untuk saling mengisi segala kekurangan kita masing-masing dan kita sudah berjanji untuk tidak saling menyakiti!”, pinta Pras lagi.
“Makanya kita pisah di sini saja!,” Ngesti berkata keras tak kuat menahan isak dibibirnya.
“Ngesti... dengarkan aku, aku tak ingin berpisah denganmu untuk selama-lamanya, dengarkan aku”, air mata basah di mata lembut itu mengalir membuat hati Ngesti tidak percaya, selembut itukah hatinya? begitu lembutkah? untuk menentukan sikap harus menunggu waktu memutar sedikit pengertian? mengorbankan perasaan perempuanku untuk mengalah menunggu seorang laki-laki menyikapi perempuan lainnya.
Ngesti tidak menyadari keadaan dirumah, kedua orang tuanya sedang duduk di ruang tamu menemani seorang laki-laki berperawakan gagah dengan usia dan masa depan yang matang. Sorot matanya tajam dengan tulang jidat kuat dan tebal menempel di atas bulu alis  matanya. Setyo telah menjalin hubungan dengan ngesti selama hampir 5 tahun sejak mereka masih sama-sama kuliah di UNS. Hari tunangan segera akan ditentukan secepatnya, tetapi sampai siang hari Ngesti belum juga pulang ke rumahnya. Bagi ngesti Setyo memang laki-laki yang baik, tidak pernah ngesti mengalami kekurangan apapun selama bersamanya. Hampir tidak ada cacat yang ia temukan pada diri Setyo. Setyo selalu tampil dengan sempurna di hadapan Ngesti tak satupun ketidaksempurnaan tampak di matanya. Ayah ngesti terpaksa menghubungi  Ngesti melalui telpon selulernya.
Nada telpon berdering ditas yang ia letakan di meja, diantara tangis kepedihannya. Ngesti cepat mengambil dan menerima telpon dari ayahnya.
“Ngesti cepet pulang... Setyomu sudah lama menunggumu, ia mau berembung tentang hari pertunanganmu, cepatlah pulang!”, kata ayah Ngesti dari rumahnya.
“Ayah... tolong sampaikan permintaan maafku pada Setyo sekarang!”, jawab Ngesti pada ayahnya.
“Lho... apa salahmu... sampai minta maaf?”, tanya ayah ngesti lagi
“ Ngesti minta maaf karena tidak bisa membicarakan pertunangan apalagi pernikahan”, jawab Ngesti pelen-pelan seali.
“Ngesti... sadar kau dengan apa yang barusan kau ucapkan pada ayahmu?”, tanya ayahnya kaget.
“Sadar ayah... Ngesti bisa menjelaskan dengan alasan”, jawab Ngesti.
“Baiklah akan ayah sampaikan pada Setyo tapi kamu harus memberikan alasannya dengan jelas akan Setyo bisa menerimanya tanpa sakit hati”,. Jelas ayahnya.
“Baik ayah.... akan Ngesti selesaian dengan baik”,. Jawab ngesti didekat Pras.
Prasetyo mendengarkan dengan seksama dialog antara Ngesti dengan ayahnya melalui HP ngesti yang sengaja dikeraskan. Pras ingin tahu siapa Setyo yang dibicaran tadi dengan ayahnya dan apa yang di maksud dengan pertunangan.
“ Siapa Setyo itu... dan siapa yang bertunangan?”, tanya Pras.
“Pras... kau harus tahu kalau Setyo itu pacarku selama 5 tahun ini, dan dia mengingginkan pertunangan denganku”, jawab Ngesti
“Lalu...?”’ tanya Pras.
“Aku meminta ayah untuk meminta maaf karena aku membatalkan pertunangan dengannya”. Jawab Ngesti sambil menundukkan kepalanya.
“Jadi kau....kau sebenarnya sudah mempunyai pacar, kanapa kau tidak bilang kalau sudah punya pacar?”, tanya Pras marah.
“Karena kau sendiri juga tidak pernah tanya aku sudah punya pacar atau belum. Aku juga punya hak untuk memilih siapa calon suamiku!”, jawab Ngesti menjelaskan.
“Waktu 5 tahun bukan waktu yang pendek, setidaknya kau sudah saling kenal siapa dia dan bagaimana dia, sayang sekali hubungan selama itu harus kau putuskan Ngesti!”, tegas Prasetyo.
“Aku memilih hubungan yang baru satu bulan tapi berisi penuh daripada hubungan 5 tahun hanya isapan jempol. Aku manusia, tahu bahwa manusia memiliki banyak ketidaksempurnaan tapi yang aku lihat dia selalu sempurna dihadapanku. Aku memiliki banyak kekhawatiran tentang kesempurnaannya hanya untuk menutupi kekurangannya”, Ngesti menjelaskan dengan tegas.
“ Maksudmu, dia selalu sempurna dihadapanmu dan kau takut kenyataannya dibelakangmu tidak demikian?”, jelas Prasetyo.
“Ya... aku lebih memilih laki-laki yang tidak sempurna dengan segala kelebihan dan kekurangannya”, tegas Ngesti lagi.
“Maksudmu aku....?”, tanya prasetyo menunjukkan jari ke dadanya sendiri.
“ Ya... kau mampu mengisi ruang hatiku belahan samping kiri yang khusus aku peruntukkan untuk ketidaksempurnaan laki-laki yang mencintaiku. Sedang sebelah kanan telah aku isi segala kelebihan-kelebihanmu”, kata Ngesti sambil memegang tangan kanan pras menapak di bawah dadanya.
Kedua insan kembali tersenyum saling memahami apa yang barusan ia ucapkan. Hilang segala keraguan di hati Ngesti dan hati Prasetyo yang tertahan selama ini, kini kembali melangkah pasti untuk terus menapaki jalanan kehidupan
“ Ngesti sayang... kau sekarang telah menjadi bagian dari kehidupanku, kebersamaan dalam memahami dan merasakan telah berhasil kita dipertahankan tanpa sia-sia”, tangan Pras memeluk pundak Ngesti erat.
“Pras... Meskipun jarak dan waktu selalu menghalangi kita kau tetap bagian hidupku, bayangmu selalu menyentuh lembut direlung hatiku. Aku akan selalu melayang olehmu, karena jiwaku telah singgah dalam singgasanamu”.
Keduanya tangan mereka saling menggenggam erat menyatukan jiwa dan raga yang sesaat sempat tersedak. Tiba-tiba seorang laki-laki menghampiri meja makan tempat ia pesan tadi dirumah makan Kusumasari.
“ Mas... Mba... rumah makan sudah mau tutup apa masih mau berpacaran juga juga sampai pagi!”, ucapan pelayan rumah makan menyadarkan keduanya.
“ Ha.... sudah malam ya... berarti kita lupa nda sholat Ashar... gimana to ... mas Pras kok nda menginggatkan?”, kata ngesti menyalahkan Pras
“Ya.... itulah bagian dari kekuranganku sebagai manusia Ngesti.....”, jawab Pras membela diri memandang lembut mata Ngesti yang disambut senyum Ngesti yang menggembang.
“Pras... ini yang aku sukai darimu, kau selalu menyadari kekuranganmu dan kesalahanmu hal itu menjadikanku semakin menyadari terlalu banyak kekurangan sebagai manusia”, jawab Ngesti tersenyum.
Berdua beriringan keluar dari rumah makan tanpa melepas tangan yang saling kait mengait satu dengan lainnya. Dua pasang mata tukang becak tidak lepas memandangnya, kemudian memangil nama Ngesti.
“Mba Ngesti....!”, tukang becak yang sedari tadi memandangi Ngesti mengejar dan mendekat.
“Ada apa mas...?”, jawab ngesti ke tukang becak yang menahan langkahnya.
“Mba Ngesti sudah pacaran sama Mas Setyo kok pacaran sama orang lain to mba...?”, tanya tukang becak tetangganya dengan sorot mata penuh kepolosan.
“Mas... itulah manusia, dan aku jenis manusia yang tak pernah bisa berpijak pasti karena semua manusia dalam ketidaksempurnaan di bawah garis kehidupan yang telah ditentukan oleh Penciptanya”,jawab Ngesti.
Aku ora mudeng karepmu mba...(Aku tidak tahu maksudmu)”, jawab tukang mbecak.
“ Pengestoni wae mas... mas Prasetyo iki jodohku (restui saja mas Prasetyo jodohku)!”, pinta Ngesti pada tukang becak.
Yo....aku mudeng saikine... dadi mas Setyo kae dudu jodone mbak Ngesti yen ngono ( yo...aku sekarang sudah ngerti.....jadi mas Setyo itu bukan jodoh mba ngesti)
Prasetyo dan Ngesti berjalan menuju tempat parkir menelusuri jalanan kota Bengawan malam hari menuju tempat ia harus mengantikan waktu sholat yang telah ia lalaikan. Setelah menunaikan sholat, kembali Ngesti tak henti menatap mata Prasetyo yang lembut membawanya ke rumah untuk mengantikan kedudukan Setyo. Dalam perjalanan pulang Ngesti menyempatkan diri menulis status di Fbnya.
,” Tuhan... terimakasih... kau beri aku lembut sinar matanya untuk meruntuhkan karang-karang waktu  yang beronggok di dalam dadaku”. Tak kalah cepatnya Pras segera mengomentari status Ngesti.
“  Telah aku taburkan benih-benih cinta di sisi-sisi karang-karangmu dan aku akan merawatnya selama-lamanya”.

                                                   ...................






0 comments:

Posting Komentar

 
BAHASA DAN SASTRA SANG MERPATI PUTIH © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates