• Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.
  • Mari belajar Drama Lewat Blog
  • Ea eam labores imperdiet, apeirian democritum ei nam, doming neglegentur ad vis. Ne malorum ceteros feugait quo, ius ea liber offendit placerat, est habemus aliquyam legendos id.

PERPISAHAN

Minggu, 13 Februari 2011
PERPISAHAN
Esti Suryani


             Berawal dari himpitan jiwa pada sebuah keputusan yang tak mampu terucap dengan ikhlas dari belahan bibir. Waktu yang terus berjalan tak mampu membawa arah menuju ujung perjalanan yang tenang. Waktu yang berjalan panjang itu telah terbakar oleh matahari yang semakin memanas melumatkan lempeng-lempeng jiwa yang terasa semakin kerontang. Menggubahnya menjadi peristiwa demi peristiwa yang membuat manusia semakin menderita dan tersiksa memberontak menghancurkan semua dan akhirnya menyadari untuk kembali dalam kedewasaan jiwa yang semestinya.
            Gandis duduk termanggu di tepi kolam ikannya kemudian menjulurkan kedua kakinya ke dalam air dan membiarkan daki dikakinya dinikmati ikan-ikan kecil. Angannya menerawang menggingat kejadian tujuh bulan yang lalu di Tawang Manggu bersama teman-teman satu angkatan di semester lima. Saat berangkat Dimas masih mengandeng erat tangan Gandis, mengawali semester baru hadir dalam acara pertemuan itu. Malamnya Gandis sms sekedar memberi sapaan dan mengajak keluar menikmati udara malam yang dingin di Tawang Manggu.
            “ Dimas... sudah tidur belum, kita keluar jalan- jalan yok...” tulis Gandis pada Dimas laki-laki yang telah memberikan komitmen untuk berjalan dalam kebersamaan.
            “ Yah... tapi aku ngantuk banget...” kalimat pertama dan yang terakhir untuk Gandis. Tak banyak berpikir setelah membaca jawaban di hpnya dari Dimas, iapun tertidur pulas menikmati dinginnya malam di bawah selimut tebalnya.
            Gandis terperanjat dari lamunannya ketika menyadari ujung kakinya digigit ikan merah paling besar di kolamnya. Semakin besar ikan yang mengigitnya akan semakin terasa gigi-giginya yang tajam menyerang kulit kakinya. Seperti kebesaran hatinya membuat ia tetap bertahan menunggu hari-hari terakhirnya yang bisu dan beku dengan menunggu Dimas, laki-laki yang sangat ia sayangi. Semakin besar cinta seseorang akan semakin terasa sakit manakala seseorang yang dicintainya semakin berpaling. Dimas telah berpaling dengan gadis lain yang lebih muda, cantik. dan menarik.
           Siang itu Gandis mendekati Dimas yang sedang menikmati browsingnya di kampus di bawah pepohonan yang rimbun menutupi terik matahari yang sangat panas menyengat.
            “ Dimas... boleh aku duduk?” tanpa berpaling dimas mempersilahkan Gandis duduk di sebelahnya.
            “ Lama sekali kamu tidak menghubungi aku, main ke rumah, telpon atau sekedar sms, kenapa mas?”, tanya Gandis pelan sekali.
            “ Buat apa aku ngubungi kamu, da ada bahan pembicaraan juga kan!”, jawab Dimas cuek.                          “ Kamu anggap aku apa, kok tidak ada bahan pembicaraan?”, tanya Gandis tanpa tahu apa yang dimaksud Dimas.
           “ Dulu kita memang pacar tetapi sekarang kita hanya teman. Kau hanya teman yang telah membuat aku malu, dan kau telah hancurkan harga diriku di depan banyak orang, terutama di depan Rani, ingat kau telah mengatakan kalau tugas yang aku buat untuk syarat semesteran bukan hasil karyaku tapi kau bilang kau yang buat.”, jawab Dimas dengan sorot mata merah memandang marah pada Gandis.
             “Rani... jadi benar kau telah berpacaran dengan Rani, jawab....?”, desak Gandis.
            “Tidak! aku tidak berpacaran dengan Rani, kau jangan menuduhku sembarangan, mana buktinya kalau aku berpacaran dengan Rani? Kau sudah menghancurkan harga diriku sekarang kau malah menuduhku dengan Rani, Mana buktinya... mana!”, bentak dimas sambil pergi meninggalkan Gandis.
             Gandis tidak tahu harus berbuat apa, kalau ternyata Dimas yang sudah menjauhinya dan kini tidak mau bersikap jujur padanya. Buat apa Dimas menutupi hatinya yang sebenarnya. Seandainya Dimas mau jujur mengatakan padanya kalau dia telah jatuh hati pada Rani meskipun terasa sakit tentu ia akan memaklumi kalau isi hati seseorang memang dapat berubah, berubah tidak lagi mencintainya.
            Dua hari Kemudian Gandis menemukan Dimas sedang duduk bercanda dengan Rani di kampus. Wajah Dimas terlihat sangat cerah sesekali terdengar canda tawa suara Dimas sambil terus memandang wajah Rani. Gandis berdiri berlindung di balik tembok tidak jauh dari situ, dengan jelas terdengar pembicaraan mereka.
            “Dimas kenapa kau kasar sekali dengan Gandis, bukannya dia pacarmu”, tanya rani sambil mencubit paha Dimas yang terperanjat mendapatkan cubitan Rani yang ta terduga itu.
            “Dia bukan pacarku, dia memang dekat dan pernah mengatakan suka padaku tapi aku tolak karena aku lebih tertarik padamu, Biarlah da usah dipikirkan, yang pasti aku sekarang memilihmu untuk bercinta”, Jawab Dimas memeluk lengan Rani.
            Hati Gandis serasa tersayat-sayat, sakit dan perih. Jiwa yang telah terluka di toreh kembali mengalirlah darah segar menetes melewati rongga-rongga hatinya terasa ngilu menjalar keseluruh sendi-sendi badannya. Matanya menatap lagi kearah suara Dimas
            “Sayang .... jam ini kamu kuliah kan... sun sayang moga kuliahmu lancar...” tidak terdengar jelas apa jawaban Rani tapi terlihat dengan jelas kalau Dimas telah mencium kening Rani yang tertawa bahagia.
Rani sengaja menunggu Dimas lewat di hadapannya. Dimas terperanjat ketika mengetahui kalau Gandis berada tidak jauh darinya.
            “Ngapain kamu... nguping... ngintip orang pacaran... dosa lu...”, bentak Dimas.
            “Jadi benarkan kalau kamu pacaran dengan Rani?”, tanya Gandis.
            “Kamu sudah tahu kalau aku sedang pacaran dan menciumnya kenapa masih tanya juga...? kamu tidak tahu diri tidak tahu malu... aku muak lihat wajahmu!”, kata Dimas sambil menuding-nuding wajahnya.
            “Kenapa kau begitu kasar padaku mas... apa salahku? Tanya Gandis menahan matanya yang basah.
            “Aku marah padamu karena kau sudah bikin aku malu, kau sudah janji tidak akan memberitahu teman-teman kalau beberapa tugas kuliah kau yang buat, kau pengin dapat pujian dari mereka, kau menghianatiku, sampai beberapa dosen memangilku curiga dengan tugas-tugas yang aku kumpulkan tahu...!”, ucapan keras Dimas membuat Gandis berpikir siapa sebenarnya yang membuat cerita seperti ini, atau jangan-jangan Dimas sendiri yang sengaja bikin masalah agar bisa terlepas dari dari komitmen yang telah diikrarkan bersama.
             “Aku tidak pernah melakukan itu!” jawab Gandis keras.
             “Kau jangan lagi nyangkal semua sudah ada buktinya kalau kau memang biang keladi semua ini! Dimas menyeret badan Gandis dan mencampakkannya ke lantai. Gandis hanya terdiam menunduk menahan matanya yang terus membasahi pipinya.
             “Dimas... aku tidak pernah melakukan apa yang kau tuduhkan kalau kau anggap aku salah, aku minta maaf tapi tolong jawab pertanyaanku kemaren tentang hubunganmu dengan Rani”, permintaan Gandis tidak terjawab. Dimas berlalu pergi begitu saja.
             Jam didinding sudah berdentang 2 x tanda waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Gandis beranjak dari tempat tidurnya yang menemaninya dalam tidur bekunya menunggu perubahan kehidupan cintanya yang terus bergulir beranjak dalam pekat hingga membuat hatinya semakin kelu, beku, dan gelap. Ia ingat pesan bundanya yang sudah meninggal agar melakuan sholat malam untuk mendapatkan keyakinan dan ridhoNya.
              Pagi harinya Gandis sudah bisa berpikir jernih hingga mampu berucap dengan tenang di hadapan Dimas laki-laki yang telah berubah cepat di hadapannya.
             “Dimas... sudah 7 bulan ini aku pelajari sikapmu yang telah berubah menjadi begitu kasar padaku, aku paham kalau kamu inginkan sebuah perpisahan, aku siap untuk kau tinggalkan tapi ucapkan dengan jantan kata putus dari mulutmu seperti saat kau ucap kata cinta dulu”. Kata Gandis menantang.
             “Kau jangan menantangku, kau hanya memperkeruh kehidupanku, kau hanya bikin aku pusing, kau hanya buat aku terpuruk, okey... sekarang kita putus. Perlu kau tahu aku sudah putus dengan Rani. Puas kau...bikin hidupku berantakan seperti ini..!”, telinga Gandis terasa panas tersengat petir yang mampu membunuh siapa saja yang ada didekatnya.
             “Sekarang jangan lagi hubungi aku... aku benci kamu Gandis!”, Dimas pergi begitu saja meninggalkan Gandis yang terbenggong- benggong sendiri.
             Kali ini Gandis benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, kembali dengan Dimas jelas tidak mungkin karena selama ini perlakuan Dimas begitu kasar padanya. Untuk pergi meninggalkan Dimas sepertinya ia akan lebih jahat dari Dimas. Dalam setiap sorot mata kebencian segala keburukan seseorang pasti akan terlihat dengan jelas di pelupuk mata. Di balik sorot kebencian itu pasti akan muncul seonggok kebaikan-kebaikan yang selama ini di diterimanya lewat jari-jarinya yang mengembang dan menjawab tanya yang tak terucap di bibirnya. Hanya kedipan mata pelan mengisyaratkan betapa luar biasanya sedikit kebaikan yang pernah di dapatnya mampu menghabus kebencian yang bercokol di hatinya.
             Gandis telah menyiapkan kalimat dengan rapi dibenaknya sore itu untuk mencoba kembali mengakhiri perang dingin dengan Dimas. Langkahnya telah tertata, dengan penampilan rapi dan tenang ia berjalan menuju ke tempat yang telah disepakati kemudian duduk menunggu Dimas. Dari belakang Dimas muncul menyapa Gandis dengan keras.
             “Gandis... aku masih mendingan mau menemuimu... apa sebenarnya yang kamu mau?”, tanya Dimas ketus.
             “Dari kalimatmu baik di sms, ditelpon, maupun langsung semua mengisyaratkan kamu pengin pergi dari kehidupanku, sekarang aku terima keinginanmu “kita putus”, Aku tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa ada hasil dan gunanya. Seperti saat ini jadi aku pamit dari kehidupanmu saja. Maaf segala kesalahanku dan aku sudah memaafkan kesalahanmu”, kata Gandis menahan emosinya.
             “Yah... makasih segalanya, selamat jalan”, jawab Dimas sinis.
              Seperti biasa Dimas pergi berlalu tanpa memperhatian kepedihan hati Gandis yang sangat mencintainya. Dimas pergi berlari cepat menyambar sepeda motornya dan berteriak keras-keras melepas beban yang menghimpit jiwanya. Melihat sikap Dimas pecahlah tangis Gandis merasakan tekanan kepedihan sebuah perpisahan. Himpitan itulah yang akhirnya membuat jiwa semakin berontak untuk menyelamatkan dirinya sendiri tanpa peduli pada luka hati manusia yang ada di sekelilingnya.


MATI TAK BERPRASAAN
(Agung wira h X 3)
aku yang masih percaya kepadamu ,
walaupun aku tlah di bohong i
kau di antara bayang dan nyata
mungkin aku tak bisa lagi percaya,
aku melangkah kejejak amarah
hingga menuntun ku untuk kematian
dalam gelap ku merindukan putih
biar lah ku menanti di ujung jiwa ,
kau terdiam dan menghilang ,
membawa senyuman penuh harapan
yang tak terlihat tpi dapat kurasakan
seperti dingin yang menghempas
aku letih dalam tangis semu
serupa harapan yang tlah pudar
tersenyumlah terdiam penuh luka
menangislah bicara dengan senyum merona
di tuntut redup hidup berkepanjangan
SEPERTI INILAH HATIKU
                                                                          Tamat

Setelah  kalian baca cerpen di atas, coba kalian analisis unsur intrinsik dan ekstrinsiknya ya....




























0 comments:

Posting Komentar

 
BAHASA DAN SASTRA SANG MERPATI PUTIH © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates